Salam dan Berkat Apostolik.
I
PUSAKA WARISAN
1. MENJELANG AKHIR MILLENNIUM KEDUA.
PENEBUS
UMAT MANUSIA, Yesus Kristus, ialah pusat alam semesta dan sejarah.
Kepada-Nyalah kami arahkan gagasan dan hati kami pada saat meriah dunia
ini, yang sendang dialami oleh Gereja dan segenap keluarga manusia zaman
sekarang. Memang saat ini-saat Allah dalam rencana-Nya yang rahasia
menyerahkan kepada kami, sesudah Pendahulu kami terkasih Paus Yohanes
Paulus I, pelayanan universal yang menandai Takhta Santo Petrus di
Roma-sudah dekat dekat sekali dengan tahun 2000. Pada saat ini masih
sulit dikatakan, ciri manakah yang akan ditinggalkan oleh tahun itu pada
wajah sejarah manusia, atau apakah yang akan didatangkan pada
masing-masing masyarakat, bangsa, negeri dan benua, kendati usaha-usaha
yang sendang dijalankan untuk memperkirakan berbagai peristiwa. Bagi
Gereja, Umat Allah, yang kendati tidak merata telah menyebar ke
penjuru-penjuru dunia yang terjauh, tahun 2000 akan merupakan tahun
Yubileum agung. Kita sudah mendekati saat itu, yang –tanpa prasangka
terhadap segala pembetulan yang diadakan oleh kecermatan
kronologis-secara istimewa akan mengingatkan dan membangkitkan dalam
hati kita kesadaran kita akan intisari kebenaran iman yang oleh Santo
Yohanes dicetuskan pada awal Injilnya:“Sabda menjadi daging dan berkemah
di antara kita“[1];
dan di lain tempat: “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga
Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal“[2].
Dalam
arti tertentu kita juga berada dalam masa Adven yang baru, masa
pendambaan: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam
pelbagai cara berbicara kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan
nabi-nabi, pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Putera-Nya...“[3],
yakni Sabda-Nya, yang menjadi manusia dan lahir dari Perawan Maria.
Tindakan penebusan itu menandai puncak sejarah manusia dalam rencana
Allah yang penuh kasih. Allah memasuki
sejarah itu, salah satu di antara ribuan jutaan manusia, tetapi
sekaligus Tunggal! Melalui Penjelmaan Allah memberi hidup manusiawi
dimensi yang dimaksudkan-Nya bagi manusia sejak awalmulanya. Ia
mengurniakan dimensi itu secara definitif-dengan cara yang khas sekali
bagi-Nya, menurut cintakasih dan kerahiman-Nya yang kekal, atas
kebebasan Allah yang sepenuhnya. Dan Ia menganugerahkannya juga dengan
kebaikan, yang memungkinkan kita-sambil merenungkan dosa asal dan
seluruh sejarah dosa-dosa bangsa manusia, dan mempertimbangkan
kesesatan-kesesatan akalbudi, kehendak dan hati manusia-mengulangi penuh
rasa takjub kata-kata Liturgi: „Ya, kesalahan yang membahagiakan
...yang memperolehkan bagi kita Penebus seagung itu!“[4]
2. KATA-KATA PERDANA DALAM MASA KEPAUSAN BARU.
Kepada
Kristus Penebuslah rasa-perasaan dan gagasan-gagasan kami kami arahkan
pada tanggal 16 Oktober tahun yang lalu, ketika seusai pemilihan kanonik
kami ditanya: ”Menerimakah Anda?” Ketika itu kami menjawab: ”Dengan
ketaatan iman akan Kristus Tuhan saya, dan dengan kepercayaan akan Bunda
Kristus dan Gereja, kendati besarnya kesulitan-kesulitan, saya
menerima”. Sekarang kami
inginkan jawaban itu diketahui resmi oleh semua tanpa kecuali, dan
dengan demikian ditunjukkan adanya kaitan antara kebenaran asasi misteri
Penjelmaan yang sudah disebutkan dan pelayanan, yang sejak saat kami
menerima pemilihan kami sebagai Uskup Roma dan Pengganti Rasul Petrus
telah menjadi kewajiban kami yang istimewa pada Takhtanya.
Kami
memilih nama-nama yang sama seperti telah dipilih oleh Pendahulu kami
terkasih Paus Yohanes Paulus I. Memang, segera sesudah pada tanggal 26
Agustus 1978 beliau menyampaikan kepada Dewan para Kardinal, bahwa
beliau ingin disebut Yohanes Paulus-nama rangkap seperti itu dalam
sejarah para Paus belum pernah muncul-kami melihat di situ suatu isyarat
rahmat yang jelas bagi masa Kepausan yang baru. Karena masa itu hanya
33 hari lamanya, kami merasa terpanggil bukan hanya untuk
melanjutkannya, melainkan dalam arti tertentu untuk memulainya lagi pada
titik-tolak yagn sama. Itu diteguhkan ketika kami memilih dua nama itu.
Dengan mengikuti teladan Pendahulu kami yang mulia dengan memilih
nama-nama itu, kami hendak seperti beliau mengungkapkan cintakasih kami
akan pusaka warisan tunggal yang ditinggalkan kepada Gereja oleh para
Paus Yohanes XXIII dan Paulus VI, dan kesediaan kami pribadi untuk
berkat bantuan Allah mengembangkan pusaka warisan itu.
Melalui
kedua nama dan kedua masa Kepausan itu kami dihubungkan dengan seluruh
tradisi Takhta Apostolik dan dengan semua Pendahulu kami dalam kurun
abad kedua-puluh serta abad-abad sebelumnya. Melalui abad demi abad yang
begitu berbeda hingga abad yang terjauh, kami berhubungan dengan alur
perutusan dan pelayanan, yang memberi Takhta Petrus tempat yang istimewa
sekali dalam Gereja Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI hidup pada
periode yang hendak langsung
kami sebut sebagai ambang pintu, yang hendak kami jadikan titik-tolak
untuk-dalam arti tertentu bersama Paus Yohanes Paulus I-melanjutkannya
ke masa depan, sambil membiarkan diri kami dibimbing oleh kepercayaan
tak terbatas dan kepatuhan terhadap Roh, yang oleh Kristus telah
dijanjikan dan diutus kepada Gereja-Nya. Pada malam sebelum menderita
sengsara Ia bersabda kepada para rasul-Nya: “Bergunalah bagi kami bahwa
Aku pergi; sebab jika Aku tidak pergi, Penghibur tidak akan datang
kepadamu; akan tetapi kalau Aku pergi, Aku akan mengutus-Nya kepadamu”[5].
”Bila Penghibur datang, Dia yang akan Kuutus kepadamu dari Bapa, yakni
Roh kebenaran, yang berasal dari Bapa, Ia akan memberi kesaksian akan
Diriku; dan kamu pula akan menjadi saksi, sebab kamu telah bersama-Ku
sejak semula”[6].
”Bila Roh kebenaran datang , Ia akan membimbing kamu ke dalam segala
kebearan; sebab Ia tidak akan berbicara atas nama-Nya sendiri, melainkan
apa pun yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya, dan Ia akan
menjelaskan kepadamu hal-hal yang akan datang”[7].
3. KEPERCAYAAN AKAN ROH KEBENARAN DAN CINTA KASIH.
Oleh karena itu, sambil mempercayakan diri sepenuhnya kepada Roh kebenaran, kami memasuki pusaka warisan masa-masa Kepausan terakhir
yang kaya. Pusaka warisan itu telah berakar mendalam dalam kesadaran
Gereja secara sama sekali baru, sama sekali tidak dikenal sebelumnya,
berkat Konsili Vatikan II, yang telah diundang dan dibuka oleh Paus
Yohanes XXIII dan kemudian penuh sukses ditutup serta dengan tabah
dilaksanakan oleh Paus Paulus VI, yang kegiatannya dapat kami saksikan
sendiri dari dekat. Tiada hentinya kami mengagumi kebijaksanaan beliau
yang mendalam, keberanian, ketabahan dan kesabaran beliau dalam periode
pasca-konsili masa Kepausan beliau yang penuh kesukaran. Sebagai tokoh
terkemuka Gereja, perahu Petrus, beliau mengetahui bagaimana memelihara
ketenangan dan keseimbangan penuh kearifan pada saat-saat yang paling
kritis sekalipun, bila Gereja nampak goncang dari dalam; dan selalu
beliau memupuk harapan tanpa ragu-ragu atas keandalan Gereja. Apa yang
oleh Roh diamanatkan kepada Gereja melalui Konsili zaman kita itu apa
yang oleh Roh disampaikan dalam Gereja itu kepada semua Gereja[8],-kendati
sementara timbul situasi-situasi yang tidak mudah-tidak dapat lain
kecuali makin mematangkan dan memantapkan segenap Umat Allah, yang
menyadari misi penyelamatannya.
Paus
Paulus VI memilih kesadaran Gereja masa kini sebagai tema utama
Ensiklik beliau yang amat mendasar, yang diawali dengan kata-kata “Ecclesiam
Suam“. Perkenankan kami pertama-tama mengacu kepada Ensiklik itu dan
menggabungkan diri dengannya dalam dokumen pertama ini, yang boleh
dikatakan mengawali masa Kepausan sekarang ini. Kesadaran Gereja, yagn
disinari dan didukung oleh Roh Kudus, dan semakin mendalam menyelami
misteri ilahinya maupun perutusan manusiawinya, bahkan
kelemahan-kelemahan insaninya juga, -kesadaran itu merupakan dan tetap
harus merupakan sumber pertama cintakasih Gereja, seperti cintakasih itu
membantu meneguhkan dan memperdalam kesadarannya. Paus
Paulus VI mewariskan kepada kita kesaksian akan kesadaran yang amat
tajam akan Gereja. Melalui sekian banyak hal, yang sering mengakibatkan
penderitaan dan yang mewarnai masa Kepausan beliau, beliau mengajarkan
kepada kami cintakasih yang tak gentar terhadap Gereja, yang menurut
Konsili merupakan ”sakramen atau tanda dan upaya persatuan mesra dengan
Allah dan kesatuan segenap umat manusia”[9].
4. MENGACU KEPADA ENSIKLIK PERTAMA PAUS PAULUS VI.
Justru
karena itulah kesadaran Gereja harus diiringi dengan sikap terbuka yang
seluas-luasnya, supaya siapa pun juga dapat menemukan didalamnya
”harta-kekayaan Kristus yang tidak terduga”[10]
yang disebutkan oleh Rasul para Bangsa. Sikap terbuka yang secara
laras-serasi disertai kesadaran akan jatidirinya dan kepastian mengenai
kebenarannya itu, -tentang itu Kristus bersabda: ”.....sabda yang kamu
dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku”[11]-itulah
yang memberi Gereja dinamisme rasulinya, dengan kata lain dinamisme
misionernya, yang menyatakan dan menyiarkan seutuhnya seluruh kebenaran
yang diturunkan oleh Kristus. Sementara itu Gereja harus melaksanakan
dialog, yang oleh Paus Paulus VI dalam Ensiklik ”Ecclesiam Suam” disebut ”dialog keselamatan”, sementara dengan cermat sekali diadakan pembedaan antara berbagai lingkup pelaksanaannya[12].
Sambil sekarang ini merujuk kepada dokumen yang mencanangkan program
masa Kepausan Paus Paulus VI itu, kami tiada hentinya bersyukur kepada
Allah, bahwa Pendahulu kami yang agung itu, yagn sungguh pula menjadi
bapa kami, mengetahui bagaimana menggelarkan ”ad extra”,
secara lahir, wajah Gereja yang sesungguhnya, kendati pelbagai
kelemahan-kelemahan batin yang ada padanya dalam periode pasca-Konsili.
Demikianlah sebagian cukup besar keluarga manusia agaknya makin
menyadari, di segala bidang hidup umat manusia yang bermacam-ragam,
betapa sungguhlah dibutuhkan Gereja Kristus, perutusannya, dan
pengabdiannya kepada bangsa manusia. Ada kalanya kesadaran itu ternyata
lebih kuat dari pelbagai sikap kritis yang menyerbu ”ab intra”,
dari dalam, Gereja, lembaga-lembaga maupun tata-susunannya, begitu pula
kaum rohaniwan beserta karya-kegiatan mereka. Sikap kritis yang makin
meningkat itu sudah barang tentu diakibatkan oleh pelbagai sebab, dan
kami merasa yakin juga, bahwa sikap itu tidak senantiasa tanpa
cintakasih yang tulus terhadap Gereja. Pantang diragukan, salah satu
kecenderungan yang ditampilkannya ialah: untuk mengatasi apa yang
disebut ”triumfalisme” (”gaya serba-jaya”), yang selama Konsili juga
sering diperbincangkan. Sementara memang benar, bahwa menurut teladan
Gurunya, yang ”rendah hati”[13],
Gereja pun harus mengalaskan diri pada kerendahan hati, bahwa Gereja
harus mempunyai sikap kritis mengenai segala sesuatu yang termasuk ciri
dan kegiatan manusiawinya, dan bahwa Gereja selalu harus banyak menuntut
dari dirinya sendiri, namun sikap kritis pun harus bergerak dalam
batas-batas yang wajar. Sebab kalau tidak, sikap itu tidak akan
membangun lagi, pun tidak menampilkan kebenaran, cintakasih dan rasa
syukur atas rahmat, yang menjadikan kita ahli waris utama dan sepenuhnya
dalam dan melalui Gereja. Selain itu sikap kritis semacam itu tidak
mengungkapkan sikap pelayanan, melainkan keinginan untuk mengarahkan
pandangan sesama menurut pandangannya sendiri, yang kadang-kadang
disebar-luaskan ke luar negeri dengan cara yang sangat gegabah.
Selayaknya
rasa syukur disampaikan kepada Paus Paulus VI, sebab-sementara
menghormati setiap unsur kebenaran yang tersirat dalam pelbagai
pandangan manusiawi-beliau sekaligus tetap menjaga keseimbangan yang
arif pada perahu Petrus[14].
Gereja yang-melalui Paus Yohanes Paulus I-telah beliau percayakan
kepada kami hampir secara langsung sesudah beliau ternyata tidak
terlepas dari kesukaran-kesukaran dan ketegangan intern. Akan tetapi
sementara itu Gereja secara batin lebih dikukuhkan terhadap ekses-ekses
kritik terhadap diri sendiri. Gereja dapat dikatakan lebih kritis
terhadap pelbagai kritik yang acak-acakan, lebih bertahan terhadap
pelbagai ”pembaharuan”, lebih matang dalam semangat penegasan rohani,
lebih mampu menggali dari khazanahnya yang kekal ”apa yang baru dan apa
yang lama”[15], lebih penuh memperhatikan misterinya
sendiri, dan karena semuanya itu lebih bersikap melayani terhadap misi
penyelamatannya bagi semua orang: Allah ”menghendaki semua orang
diselamatkan, dan mengenal kebenaran”[16].
5.KOLEGIALITAS DAN KERASULAN.
Kendati
semua kesan lahir, Gereja sekarang lebih bersatu dalam persaudaraan
pelayanan dan kesadaran akan kerasulannya. Kesatuan itu bersumber pada
asas kolegialitas yang disebutkan oleh Konsili Vatikan II Kristus
sendiri menjadikan prinsip itu sebagian yang hidup pada Dewan rasuli
Duabelas yang diketuai oleh Petrus, dan terus menerus Ia membaharuinya
dalam Dewan para Uskup, yang makin berkembang di seluruh dunia, dan
tetap bersatu dengan serta di bawah bimbngan Pengganti Santo Petrus.
Konsili berbuat lebih dari sekedar menyebutkan asas kolegialitas itu.
Konsili menjiwainya dengan perihidup baru tiada taranya, antara lain
dengan mencetuskan harapan supaya ada lembaga kolegialitas yang
permanen, yang didirikan oleh Paus Paulus VI dengan menyelenggarakan
sinode para Uskup, yang kegiatannya tidak hanya memberi dimensi baru
kepada masa Kepausan beliau, melainkan kemudian cukup jelas pula
dicerminkan dalam masa Kepausan Paus Yohanes Paulus I, dan masa Kepausan
Pengganti beliau yang tidak layak sejak mulainya.
Asas
kolegialitas nampak mempunyai relevansi yang istimewa dalam periode
pasca Konsili yagn cukup sukar, ketika posisi kesepakatan bersama Dewan
para Uskup, yang-terutama melalui Sinode-menampilkan persatuannya dengan
Pengganti Petrus, membantu menghalau segala keraguan, dan sekaligus
menunjukkan cara-cara yang tepat-seksama untuk membaharui Gereja dalam
dimensi universalnya. Memang Sinode merupakan sumber, antara lain,
relevansi hakiki bagi pewartaan Injil, yang terungkap dalam Anjuran
Apostolik ”Evangelii Nuntiandi”[17],
yang disambut begitu penuh kegembiraan sebagai program pembaharuan,
yang sekaligus bersifat rasuli maupun pastoral. Haluan itu juga ditempuh
dalam karya sidang biasa terakhir Sinode para Uskup, yang
diselenggarakan sekitar satu tahun sebelum Paus Paulus VI wafat, dan
seperti diketahui bertemakan katekese. Buah hasil karya itu masih perlu
disusun dan dimaklumkan oleh Takhta Apostolik.
Selagi
kami membicarakan perkembangan jelas yang terjadi pada bentuk-bentuk
kolegialitas para Uskup, setidak-tidaknya perlu disebut proses
pemantapan Konferensi-Koferensi Uskup Nasional di seluruh Gereja dan
struktur-struktur kolegial lainnya pada tingkat internasional atau
kontinental. Dengan mengacu juga kepad atradisi Gereja berabad-abad
lamanya, perlu diperhatikan kegiatan berbagaui Sinode tingkat keuskupan,
provinsi dan nasional. Merupakan gagasan Konsili, suatu gagasan yang
secara konsisten dilaksanakan oleh Paus Paulus VI, bahwa
struktur-struktur semacam itu, yang sudah berabad-abad lamanya
diuji-coba oleh Gereja, begitu pula bentuk-bentuk lain kerja sama
kolegial antara para Uskup, seperti struktur metropolitan-untuk tidak
menyebut keuskupan sendiri-harus berdenyutkan kesadaran penuh akan jati
diri mereka sendiri, pun sekaligus, akan sifat original mereka dalam
kesatuan Gereja semesta. Semangat kerja sama dan tanggung jawab bersama
itu sedang meluas juga dikalangan para imam, seperti ternyata dari
sekian banyak Dewan Imam yang bermunculan sejak Konsili. Semangat itu
meluas juga di lingkungan kaum awam, dan tidak hanya memperkuat
organisasi-organisasi kerasulan awam yang sudah ada, tetapi menciptakan
organisasi-organisasi baru pula, yang sering menempuh haluan berbeda dan
menonjol sekali daya-geraknya. Lagi pula umat awam, menyadari tanggung
jawab mereka atas Gereja, dengan sukarela menyatakan kesanggupan mereka
untuk bekerja sama dengan para pastor dan dengan wakil-wakil
Tarekat-Tarekat hidup bakti, pada tingkat Sinode-Sinode diosesan dan
Dewan-Dewan Pastoral di paroki-paroki dan keuskupan-keuskupan.
Semuanya
itu pada awal masa Kepausan kami perlu kami kenangkan sebagai alasan
untuk bersyukur kepada Allah, untuk mendorong semangat semua
saudara-saudari kami, dan untuk penuh rasa syukur setulus hati
mengingat-ingat karya Konsili Vatikan II maupun para Pendahulu kami yang
agung, yang menggerakkan dinamisme kehidupan baru bagi Gereja ini,
suatu gerakan yang jauh lebih kuat dari kendala-kendala keragu-raguan,
kelesuan dan krisis.
6. JALAN MENUJU KESATUAN KRISTIANI.
Apakah
yang akan kami katakan tentang segala prakarsa yang muncul dari
orientasi ekumenis baru? Paus Yohanes XXIII yang tak terlupakan
menguraikan masalah kesatuan Kristiani dengan kejelasan Injili sebagai
konsekuensi sederhana kehendak Yesus Kristus sendiri, Guru kita.
Kehendak itu dinyatakan oleh Yesus pada berbagai kesempatan, tetapi
secara istimewa diungkapkan-Nya dalam doa-Nya di Ruang Atas pada malam
menjelang wafat-Nya: ” Aku berdoa...ya Bapa...supaya mereka semua
bersatu”[18]. Konsili Vatikan II dengan cermat menanggapi
tuntutan itu dengan Dekrit tentang Ekumenisme. Dengan memanfaatkan
kegiatan-kegiatan Sekretariat untuk meningkatkan Kesatuan Kristiani,
Paus Paulus VI mengawali langkah-langkah pertama yang sulit di jalan
menuju kesatuan itu. Sudahkah kita melangkah jauh pada jalan itu? Tanpa
mau meberi jawaban rinci, dapat kami katakan, bahwa kita telah mencatat
kemajuan-kemajuan yang nyata dan penting. Dan satu hal sudah pasti kami
telah bekerja dengan tabah dan konsisten, dan para wakil Gereja-Gereja
dan Jemaat-Jemaat Kristen lainnya juga menyatakan kesanggupan mereka
bersama kami; untuk itu kami berterima kasih sepenuh hati kepada mereka.
Sudah pasti juga, bahwa dalam situasi sejarah umat Kristiani dan dunia
sekarang ini satu-satunya kemungkinan yang kami lihat untuk menunaikan
misi universal Gereja berkenaan dengan soal-soal ekumenisme ialah:
mencari dengan jujur, tabah dan rendah hati, pun juga dengan berani,
cara-cara untuk mekin saling mendekati dan bersatu. Dalam hal itu Paus
Paulus VI memberi kami teladan beliau pribadi. Oleh karena itu kita
harus mengusahakan kesatuan itu tanpa putus asa menghadapi
kesulitan-kesulitan yang dapat muncul atau bertubi-tubi di sepanjang
jalan. Kalau tidak kita akan tidak setia terhadap sabda Kristus, kita
akan gagal melaksanakan amanat wasiat-Nya. Berhakkah kita mengambil
risiko itu?
Ada
orang-orang, yang karena menghadapi kesulitan-kesulitan, atau karena
mereka beranggapan bahwa usaha-usaha ekumenis pertama telah membuahkan
hasil-hasil negatif melulu, ingin membatalkan semuanya. Bahkan ada juga
yang mengungkapkan pandangan bahwa usaha-usaha itu merugikan pewartaan
Injil, mengantar kepada perpecahan Gereja yang lebih parah lagi,
menimbulkan pencampuradukan gagasan-gagasan dalam soal-soal iman dan
kesusilaan, serta akhirnya bermuara pada sikap tidak mengacuhkan agama
(indiferentisme) yang khusus. Barangkali baiklah para jurubicara
anggapan-anggapan itu mengungkapkan kekawatiaran-kekawatiran mereka.
Akan tetapi dalam hal itu pun batas-batas yang cermat perlu diindahkan.
Jelaslah tahap baru kehidupan Gereja ini meminta dari kita iman yang
secara khas penuh kesadaran, mendalam dan bertanggungjawab. Kegiatan
ekumenis yang sejati berarti sikap terbukan, pendekatan, kesediaan untuk
berdialog, dan penelitian bersama mengenai kebenaran dalam arti Injili
dan Kristiani sepenuhnya. Akan tetapi kegiatan itu sama sekali tidak
berarti atau tidak dapat berarti melepaskan atau entah bagaimana
mengurangi khazanah kebenaran ilahi, yang senantiasa diimani dan
diajarkan oleh Gereja. Kepada siapa saja, yang entah
karena alasan apa hendak menganjurkan Gereja supaya jangan mengusahakan
kesatuan semesta umat Kristen sekali lagi perlu diajukan pertanyaan:
Berhakkah kita untuk tidak menjalankan itu? Dapatkah kita tidak
percaya-kendati segala kelemahan manusiawi dan semua kesalahan di
abad-abad yang silam-akan rahmat Tuhan kita seperti baru-baru ini
ditampilkan melalui apa yang diamanatkan oleh Roh Kudus dan kita dengar
selama Konsili? Seandainya kita tidak percaya, kita mengingkari
kebenaran tentang diri kita sendiri, yang begitu jelas dicetuskan oleh
Rasul: ”Karena rahmat Allah aku ini sebagaimana adaku sekarang, dan
rahmat yang dikaruniakan-Nya kepadaku tidak sia-sia”[19].
Apa
yang baru saja kami sampaikan itu harus diterapkan juga-kendati secara
lian dan dengan mengindahkan perbedaan-perbedaan-pada usaha-usaha
mendekati para wakil agama-agama bukan-Kristen, kegiatan yang diwujudkan
melalui dialog, hubungan-hubungan, doa bersama, penelitian tentang
harta-kekayaan spiritualitas manusiawi, yang seperti kita ketahui,
terdapat juga pada para penganut agama-agama itu. Tidakkah kadang-kadang
terjadi, bahwa keyakinan iman para pemeluk agama-agama
bukan-Kristen-iman yang juga merupakan buah Roh kebenaran yang berkarya
di luar batas-batas kelihatan Tubuh Mistik-dapat memalukan umat Kristen,
karena mereka sendiri seringkali begitu mudah untuk menyangsikan
kebenaran-kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan diwartakan oleh
Gereja, dan begitu cenderung untuk melecehkan asas-asas moral serta
membuka peluang bagi sikap terlampau longgar di bidang etika. Adalah
sesuatu yang luhur mempunyai kecenderungan hati untuk memahami setiap
pribadi, menganalisis setiap sistem dan mengakui apa pun yang benar.
Akan tetapi itu sama sekali tidak berarti kehilangan kepastian tentang
imannya sendiri[20],
atau memperlunak kaidah-kaidah hidup susila, yang kalau tidak ada lagi,
segera akan terasa akibatya dalam kehidupan segenap masyarakat, dengan
konsekuensi-konsekuensi yang sangat menyedihkan pula.
II
MISTERI PENEBUSAN
7. DI DALAM MISTERI KRISTUS.
Jalan,
yang atas panduan Konsili abad ini mulai ditempuh oleh Gereja, haluan
yang digariskan oleh almarhum Paus Paulus VI dalam Ensiklik beliau yang
pertama, untuk jangka waktu cukup lama akan tetap merupakan jalan yang
kita semua harus menempuh. Sekaligus pada tahap baru ini dengan tepat
dapat ditanyakan: Bagaimana, dengan cara manakah kita harus meneruskan
perjalanan itu? Apa yang harus kita lakukan, supaya Adven baru bagi
Gereja ini, berkaitan dengan makin mendekatnya akhir millennium kedua
ini, makin mendekatkan kita kepada Dia yagn oleh Kitab Suci disebut
”Bapa zaman yang mendatang”, ”Pater futuri saeculi”?[21]
Itulah pertanyaan mendasar, yang oleh Paus baru harus diajukan kepada
dirinya, bila dalam semangat kepatuhan iman ia menerima panggilan
menurut perintah, yang beberapa kali disampaikan oleh Kristus kepada
Petrus: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku!”[22], artinya: Jadilah gembala bagi kawanan-Ku; lagi: ”dan engkau, jika engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu!”[23]
Pertanyaan
itu, saudara-saudara dan putera-puteri terkasih, harus mendapat jawaban
yang mendasar dan sangat pokok. Jawaban kita seharusnya: Semangat kita
dijuruskan kepada satu arah, satu-satunya arah bagi akalbudi, kehendak
dan hati, yakni kepada Kristus Penebus kita, kepada Kristus Penebus umat
manusia. Pandangan akan kita arahkan kepada-Nya, karena tiada
keselamatan selain dalam Dia, Putera Allah, sambil mengulangi kata-kata
Petrus: ”Tuhan kepada siapakah kami akan pergi? Pada-Mulah sabda
kehidupan kekal!”[24]
Melalui
kesadaran Gereja yang banyak berkembang berkat Konsili, melalui segala
tingkat kesadaran itu, dan melalui semua bidang kegiatan yang
diselenggarakan oleh Gereja untuk mengungkapkan diri dan menemukan serta
meneguhkan jatidirinya, kita senantiasa harus menuju kepada Dia, yakni
Kepala[25]; ”melalui dialah segala sesuatu dijadikan, melalui Dia pula kita berada”[26]; Dialah ”jalan dan kebenaran”[27], pun juga ”kebangkitan dan kehidupan”[28]; melihat Dia berarti melihat Bapa[29]; Ia harus meninggalkan kita[30]-yakni
melalui wafat-Nya di Salib, kemudian melalui kenaikan-Nya ke
Surga-supaya Sang Penghibur turun mengunjungi kita, dan tetap mendatangi
kita sebagai Roh kebenaran[31]. Dalam Dialah ”segala kekayaan kebijaksanaan dan pengetahuan”[32], dan Gerejalah Tubuh-Nya[33].
”Dalam Kristus” (artinya: berdasarkan hubungannya dengan
Kristus)”Gereja itu bagaikan sakramen atau tanda dan upaya persatuan
mesra dengan Allah, dan kesatuan segenap umat manusia”[34]: dan sumber semuanya itu Dia sendirilah, Sang Penebus.
Tiada
hentinya Gereja mendengarkan sabda-Nya. Terus menerus Gereja
membacanya. Dengan devosi yang amat mendalam Gereja menyusun ulang
setiap peristiwa rinci hidup-Nya. Sabda itu didengarkan juga oleh umat
bukan Kristen. Hidup Kristus juga menyapa banyak orang yang tidak mampu
mengulangi bersama Petrus: ”Engkaulah Kristus Putera Allah yang hidup”[35].
Dia, Putera Allah yang hidup, juga menyapa orang-orang sebagai Manusia.
Hidup-Nyalah yang berbicara, kemanusiaan-Nya, kesetiaan-Nya terhadap
kebenaran, cintakasih-Nya yang merangkul segalanya. Selanjutnya,
wafat-Nya di Salib berbicara, maksudnya:jurang penderitaan-Nya, saat Ia
ditinggalkan, jurang yang tak terduga dalamnya. Tidak pernah Gereja
berhenti menghayati lagi kematian-Nya di Salib dan kebangkitan-Nya, yang
merupakan isi hidup Gereja sehari-hari. Memang karena perintah Kristus
sendirilah, Gurunya, Gereja tiada hentinya merayakan Ekaristi, dan
menemukan di situ ”pancaran hidup dan kekudusan”[36]
lambang mujarab rahmat dan pendamaian dengan Allah, dan jaminan hidup
kekal. Gereja menghayati misteri-Nya, terus menerus menimba dari
padanya, dan tiada hentinya berusahamenyalurkan misteri Guru dan
Tuhannya itu kepada umat manusia-kepada suku-suku dan bangsa-bangsa,
kepada angkatan demi angkatan, dan kepada setiap orang-seakan-akan terus
mengulangi, apa yang dijalankan oleh Rasul:”Sebab kuputuskan untuk
tidak mengetahui apa pun juga di antara kamu, selain Yesus Kristus, Dia
yagn disalibkan”[37]. Gereja tinggal dalam lingkup misteri Penebusan, yang menjadi prinsip dasar kehidupan maupun perutusannya.
8. PENEBUSAN SEBAGAI PENCIPTAAN BARU.
Penebusan
dunia! Dalam Dia telah diwahyukan secara baru dan lebih menakjubkan
kebenaran asasi tentang penciptaan, yang kesaksiannya terdapat dalam
Kitab Kejadian dengan diulanginya beberapa kali: ”Allah melihat bahwa
itu baik adanya”[38].
Yang baik bersumber pada Kebijaksanaan dan Cintakasih. Dalam Yesus
Kristus dunia yang kelihatan yang diciptakan oleh Allah bagi manusia[39] –dunia yang ketika dosa masuk ”telah ditaklukkan kepada kesia-siaan”[40]-telah
beroleh kembali hubungannya yang asli dengan sumber ilahi Kebijaksanaan
dan Cintakasih. Memang ”sebesar itulah cintakasih Allah terhadap dunia,
sehingga Ia mengurniakan Putera-Nya yang tunggal”[41]. Seperti hubungan itu terputus dalam manusia Adam, begitu pula dipulihkan dalam Manusia Kristus[42].
Tidakkah kita dalam abad kedua puluh ini yakin akan kata-kata Rasul
para Bangsa yang begitu mantap meyakinkan mengenai ”segala makhluk
(yang) sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin”[43], dan ”dengan sangat rindu...mendambakan saat anak-anak Allah dinyatakan”[44],
ciptaan yang ”telah ditaklukkan kepada kesia-siaan”? Tidakkah kemajuan
amat besar yang sebelum ini tak dikenal-dan berlangsung khususnya selama
abad ini-di bidang kedaulatan manusia atas bumi sendiri
menyingkapkan-sampai tingkatan yagn seblum ini tak dikenal
pula-penaklukkan ganda ”kepada kesia-siaan” itu? Cukupkah mengingatkan
akan kendala-kendala tertentu, misalnya ancaman pencemaran lingkungan
alam di kawasan-kawasan industrialisasi yang pesat, atau konflik-konflik
bersenjata yang setiap kali pecah lagi, atau prapandangan-prapandangan
penghancuran diri dengan penggunaan senjata-senjata nuklir, zat air
(hidrogen), neutron dan sebagainya, atau tiadanya hormat terhadap
kehidupan anak yang belum lahir. Dunia zaman baru, dunia penerbangan
ruang angkasa, dunia kejayaan ilmu-pengetahuan dan teknologi, yang baru
sekarang ini tercapai-bukankah itu sekaligus dunia yang ”mengeluh merasa
sakit bersalin”[45], yang ”dengan sangat rindu...mendambakan saat anak-anak Allah dinyatakan”?[46]
Dalam
analisisnya yang mendalam terhadap ”dunia modern” Konsili Vatikan II
mencapai pokok yang terpenting dalam dunia yang kelihatan yakni manusia,
dengan menyelami seperti Kristus lubuk kesadaran manusiawi, dan dengan
memasuki misteri batin manusia, yang dalam bahasa kitabiah maupun
bukan-kitabiah diungkapkan dengan istilah ”hati”. Kristus Penebus
dunialah yang merasuki dengan cara unik dan tak terulang misteri manusia
dan memasuki ”hati”-nya. Maka tepatlah Konsili Vatikan II
mengajarkan:”Kebenarannya ialah, bahwa hanya dalam misteri Sabda yang
menjelma misteri manusia menjadi terang. Sebab Adam, manusia perdana,
ialah citra Dia yang akan datang (Rom 5:14), yakni Kristus Tuhan Kristus
Adam baru, dalam perwahyuan misteri Bapa dan cintakasih-Nya sendiri,
sepenuhnya mewahyukan manusia kepada dirinya dan menyinari panggilannya
yang amat luhur”. Dan Konsili melanjutkan: ”Dia sendiri yang menjadi
’citra Allah yang tak kelihatan’ (Kol 1:15) ialah manusia sempurna, yang
telah memulihkan dalam anak-anak Adam keserupaan dengna Allah yang
telah dikeruhkan sejak dosa pertama. Karena kenyataan, bahwa kodrat
manusiawi disambut, bukan luluh diserap, dalam Dia, kodrat itu dalam
diri kita diankat juga kepada martabat yang tiada taranya. Sebab berkat
Penjelmaan-Nya Ia Putera Allah, secara tertentu menyatukan Diri dengan
setiap manusia. Ia bekerja dengan tangan-tangan manusiawi, Ia berpikir
dengan akalbudi manusiawi. Ia bertindak dengan kehendak manusiawi, dan
dengan hati manusiawilah Ia mencintai. Karena lahir dari Perawan Maria,
Ia sungguh telah menjadi salah seorang di antara kita, menyerupai kita
dalam segalanya kecuali dosa”[47], Dia Penebus umat manusia.
9. DIMENSI ILAHI MISTERI PENEBUSAN.
Kalau
kami renungkan lagi teks yang mengagumkan itu dalam ajaran Konsili,
sejenak pun tidak kami lupakan bahwa Yesus Kristus Putera Allah yang
hidup menjadi pendamaian kita dengan Bapa[48]. Dia, dan hanya Dialah yang memuaskan cintakasih
Bapa yang kekal, kebapaan-Nya yang sejak semula diungkapkan ketika Ia
menciptakan dunia, mengurniakan kepada manusia segala kekayaan alam
makhluk, dan menjadikannya “sedikit kurang dari Allah”[49], karena ia diciptkan “menurut citra-keserupaan Allah”[50].
Yesus dan hanya Dialah pula yang memuaskan kebapaan Allah serta
cintakasihNya, yang dengan cara tertentu ditolak oleh manusia dengan
melanggar Perjanjian pertama[51] dan perjanjian-perjanjian sesudahnya, yang oleh Allah “berkali-kali ditawarkan kepada manusia”[52]. Penebusan dunia-misteri cintakasih yang maha-agung, ketika penciptaan diperbaharui[53]-pada
akarnya yang terdalam merupakan kepenuhan keadilan dalam Hati
manusiawi, Hati Putera Sulung, supaya menjadi keadilan dalam hati banyak
orang, yagn sejak kekal ditetapkan untuk dalam Putera Sulung menjadi
putera-puteri Allah[54]
dan di panggil untuk rahmat dan cintakasih. Salib di bukit Kalvari,
cara Yesus Kristus-Manusia, Putera, Perawan Maria yagn dianggap anak
Yosef dari Nazaret-“meninggalkan” dunia ini, juga merupakan penampilan
yang segar kebapaan kekal Allah, yang dalam Dia sekali lagi mendekati
umat manusia, manusia masing-masing, dengan menganugerahkan kepadanya
“Roh kebenaran”[55] yang mahakudus.
Perwahyuan
Bapa dan pencurahan Roh Kudus itu, yang menaruh meterai tak terhapuskan
pada misteri Penebusan, menjelaskan makna Salib dan wafat Kristus.
Allah Pencipta diwahyukan sebagai Allah Penebus, Allah yang “setia akan
diri-Nya”[56],
dan setia akan cintakasih-Nya terhadap manusia dan dunia, yang
diwahyukan-Nya pada hari penciptaan. Cintakasih-Nya tidak mundur
menghadapi apa pun yang dituntut oleh keadilan dalam diri-Nya. Oleh
karena itu”Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa
karena kita”[57].
Kalau Allah “membuat menjadi dosa” Dia yang sama sekali tanpa dosa,
maksudnya ialah untuk mewahyukan cintakasih yang selalu lebih agung dari
pada semesta alam tercipta, cinta yang adalah Dia sendiri, karena
“Allah itu cintakasih”[58]. Terutama cintakasih lebih besar dari dosa, kelemahan, “kesia-siaan penciptaan”[59].
Cintakasih lebih kuat dari maut; selalu siap untuk membangkitkan dan
mengampuni, senantiasa bersedia untuk menjumpai anak yang mursal[60], selalu mendambakan ”saat anak-anak Allah dinyatakan”[61], yang dipanggil untuk ”kemuliaan yang akan dinyatakan”[62]. Perwahyuan cintakasih itu dilukiskan juga sebagai kerahiman[63]. Dalam sejarah manusia perwahyuan cintakasih dan kerahiman itu mengenakan bentuk dan nama, yakni: Yesus Kristus.
10. DIMENSI MANUSIAWI MISTERI PENEBUSAN.
Manusia
tidak dapat hidup tanpa cinta. Ia tetap makhluk yang tidak dapat
dimengerti bagi dirinya. Hidupnya tiada maknanya, kalau cinta tidak
dinyatakan kepadanya, kalau ia tidak menjumpai cinta, kalau ia tidak
mengalaminya dan menjadikannya miliknya, kalau ia tidak secara mendalam
berperan serta di dalamnya. Seperti telah dikatakan, itulah sebabnya
mengapa Kristus Penebus “sepenuhnya mewahyukan manusia kepada manusia”.
Boleh dikatakan, itulah dimensi manusiawi misteri Penebusan. Dalam
dimensi itu manusia menemukan lagi keagungan, martabat dan nilai
kemanusiaannya. Dalam misteri Penebusan manusia ”diungkapkan” secara
baru, dan dengan cara tertentu diciptakan secara baru. Ia diciptakan
baru! ”Tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang
merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua satu
dalam Kristus Yesus”[64].Siapa
hendak menyelami dirinya sedalam-dalamnya,-dan bukan semata-mata
menurut norma atau took-ukur kenyataannya yang langsung, hanya menyentuh
sebagian saja, sering dangkal, atau bahkan semu melulu,-ia harus
beserta kecemasan, kebimbangan dan bahkan kelemahan serta kedosaannya,
beserta hidup dan kematiannya, mendekati Kristus. Boleh dikatakan: ia
harus memasuki Kristus dengan seluruh dirinya, ia harus ”mengenakan pada
dirinya” dan menyerap seluruh kenyataan Penjelmaan dan Penebusan, untuk
menemukan dirinya. Bila proses yagn mendalam itu berlangsung dalam
dirinya, ia akan membuahkan hasilbukan saja berupa sembah-sujud terhadap
Allah, melainkan juga rasa kagum yang mendalam akan dirinya. Betapa
tinggi nilai manusia dalam pandangan Sang Pencipta, kalau ia ”beroleh
Penebus seagung itu”[65], dan Allah ”mengurniakan Putera-Nya yang tunggal”, supaya manusia”jangan binasa melainkan beroleh hidup kekal”[66].
Menurut
kenyataan nama bagi rasa kagum yang mendalam akan nilai dan martabat
manusia ialah Injil, artinya: Warta Gembira. Itu jugadisebut
Kristianitas. Rasa takjub itu menentukan misi Gereja di dunia, dan
barangkali malahan lebih lagi, ”di dunia modern”. Rasa kagum itu,
sekaligus keyakinan dan kepastian-pada inti yagn sedalam-dalamnya itulah
kepastian iman, tetapi secara terselubung dan misterius justru itulah
yang menghidupkan setiap segi kemanusian yang otentik-erat berkaitan
dengan Kristus. Rasa takjub itu juga menentukan tempat Kristus-boleh
dikatakan: hak kewarganegaraan-Nya yang istimewa-dalam sejarah manusia
dan bangsa manusia. Sementara tiada hentinya merenungkan seluruh misteri
Kristus, Gereja menyadari dengan segala kepastian iman, bahwa Penebusan
yang terwujudkan melalui Salib secara definitif memulihkan kepada
manusia martabatnya, dan mengembalikan makna hidupnya di dunia, makna
yang sebagian besar telah hilang akibat dosa. Dan oleh karena itu
Penebusan dilaksanakan dalam misteri Paska, yang melalui Salib dan
kematian mengantar kepada Kebangkitan.
Peranan
asasi Gereja di setiap zaman dan khususnya pada zaman kita yakni:
mengarahkan pandangan manusia, menunjukkan kepada kesadaran dan
pengalaman segenap umat manusia misteri Allah, membantu semua orang
untuk menjadi akrab dengan inti mendalam Penebusan yang berlangsung
dalam Kristus Yesus. Sementara itu segi hidup manusia yang terdalam
terkena juga, yang kami maksudkan lingkup hati, suara nurani dan
peristiwa-peristiwa manusiawi.
11. MISTERI KRISTUS SEBAGAI DASAR MISI GEREJA DAN KRISTIANITAS.
Konsili
Vatikan II menjalankan karya raksasa membina kesadaran sepenuhnya
seluruh gereja, yagn diuraikan oleh Paus Paulus VI dalam Ensiklik beliau
yang pertama. Kesadaran, atau lebih tepat kesadaran diri Gereja itu
dikembangkan ”dalam dialog”. Sebelum dialog itu menjadi perbincangan,
perhatian perlu ditujukan kepada ”pihak lain”, artinya: pribadi yang
hendak disapa. Konsili ekumenis memberi dorongan mendasar untuk membina
kesadaran Gereja akan jatidirinya, dengan menyajikan secara begitu
memadai dan kompeten pandangan atas dunia semesta sebagai peta pelbagai
agama. Selain itu dipaparkan bahwa peta agama-agama dunia itu
ditumpangi-dalam bentuk lapisan-lapisan yang sebelumnya tak dikenal dan
karakteristik bagi masa kini-oleh kendala berbagai macam ateisme, mulai
dengan ateisme yang berencana, terorganisasi dan terstruktur sebagai
sistem politik.
Berkenaan
dengan agama, yang pertama-tama diuraikan ialah agama sebagai gejala
universal yang terkait dengan sejarah manusia sejak awal-mula, kemudian
pelbagai agama bukan-Kristiani, akhirnya agama Kristiani sendiri.
Dokumen Konsili tentang agama-agama bukan-Kristiani khususnya, penuh
penghargaan yang mendalam terhadap nilai-nilai rohani yang agung, jelas
pula tempat utama hidup rohani, yang dalam kehidupan umat manusia
terungkapkan dalam agama dan kesusilaan beserta dampak-pengaruhnya yang
langsung atas seluruh kebudayaan. Dengan tepat para Bapa Gereja
memandang berbagai agama seolah-olah sebagai sekian banyak cerminan satu
kebenaran, ”benih-benih Sabda”[67]nya.
Mereka
menyatakan bahwa jalan yang ditempuh barangkali berbeda, hanya ada satu
tujuan bagi aspirasi terdalam jiwa manusia, seperti terungkap dalam
usahanya menemukan Allah pun juga-melalui kerinduannya akan
Allah-mencari dimensi kemanusiaannya yang sepenuhnya, atau dengan kata
lain: makna sepenuhnya hidup manusiawi. Konsili secara istimewa
memperlihatkan agama Yahudi, seraya mengenangkan warisan rohani bersama
yang agung bagi umat Kristen maupun umat Yahudi. Konsili menyatakan
penghargaannya juga bagi kaum muslimin, yang imannya mengacu juga kepada
Abraham[68].
Peluang,
yang dibuka oleh Konsili Vatikan II memungkinkan Gereja dan semua orang
Kristiani untuk mencapai kesadaran yang lebih penuh akan misteri
Kristus, ”rahasia yang dari abad ke abad tersembunyi”[69]
dalam Allah, untuk dalam kurun waktu diwahyukan dalam Manusia Yesus
Kristus, dan terus menerus dinyatakan di setiap masa. Dalam Kristus dan
melalui Kristus Allah telah mewahyukan Diri sepenuhnya kepada umat
manusia dan secara defenitif mendekatinya. Serta-merta dalam Kristus dan
melalui Kristus manusia memperoleh kesadaran sepenuhnya akan
martabatnya, akan keluhuran yang dicapainya berkat pengangkatannya, akan
keunggulan nilai kemanusiaanya sendiri, dan akan makna hidupnya.
Oleh
karena itu kita semua yang mengikuti Kristus harus berhimpun dan
bersatu di sekitar-Nya. Kesatuan di pelbagai bidang kehidupan, tradisi,
tata-susunan dan tata-tertib Gereja-Gereja Kristen dan Jemaat-Jemaat
gerejawi itu tidak dapat terlaksana tanpa usaha yang efektif untuk makin
saling mengenal dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang menutup jalan
menuju kesatuan yang sempurna. Bagaimana pun juga kita dapat dan harus
segera mencapai dan menyiarkan kepada dunia kesatuan kita dalam
mewartakan misteri Kristus, dalam menyingkapkan dimensi ilahi maupun
insani Penebusan, dan dalam memperjuangkan dengan ketabahan yang tak
kenal lelah martabat, yang oleh tiap orang telah tercapai dan senantiasa
dapat dicapai dalam Kristus, yakni martabat rahmat pengangkatan ilahi
maupun kebenaran yang ada dalam kodrat kemanusiaan. Sebab bila dalam
kesadaran dunia modern kebenaran itu diakui relevansinya yang mendasar,
bagi kita malahan masih lebih cemerlang lagi dalam terang kenyataan
Yesus Kristus.
Yesus
Kristus ialah asas yang tetap dan pusat yang tak goyah bagi perutusan,
yang oleh Allah sendiri dipercayakan kepada manusia. Kita semua harus
berperan serta dalam perutusan itu dan memusatkan segala daya-kekuatan
kita padanya, karena misi itu bagi umat manusia di zaman modern masih
lebih dibutuhkan lagi dari pada sebelumnya. Kalau sekarang perutusan itu
agaknya terbentur pada tentangan-tentangan yang lebih besar dari
seblumnya ini, itu justru menunjukkan bahwa misi itu sekarang lebih
diperlukan dari pada di masa lampau, dan kendati segala oposisi lebih
dinantikan juga. Di sini secara tidak langsung disinggung misteri
”tata-rumahtangga” atau ”ekonomi” ilahi, yang mengaitkan keselamatan dan
rahmat dengan Salib. Bukannya tanpa alasan Kristus bersabda: ”Kerajaan
Surga diserbu dengan kekerasan dan orang yang menyerbunya mencoba
menguasainya”[70], lagi pula: pun yang sudah kaya-pendek kata: menolong setiap orang untuk mengenal ”kekayaan Kristus yang tak terduga”.
12. MISI GEREJA DAN KEBEBASAN MANUSIAWI.
Dalam
kesatuan perutusan itu, yang terutama ditetapkan oleh Kristus sendiri,
segenap umat Kriten harus menemukan apa yang sudah menyatukan mereka,
juga sebelum persekutuan mereka sepenuhnya tercapai. Itulah kesatuan
apostolik dan misioner, kesatuan misioner dan apostolik. Berkat kesatuan
itu kita dapat bersama menghampiri pusaka warisan agung jiwa manusiawi
yang telah terungkap dalam semua agama, seperti diamanatkan oleh
Pernyataan Konsili Vatikan II ”Nostra Aetate”[71].
Kesatuan itu memungkinkan kita juga mendekati segala kebudayaan, semua
konsep ideologi, sekalian orang yang beriktikad baik. Mereka kita dekati
dengan sikap menghargai dan menghormati serta kearifan, yang sejak
zaman para rasul menandai sikap misioner, sikap misionaris. Cukuplah menyebut santo Paulus, dan misalnya amanatnya di Areopag di kota Athena[72]. Sikap misioner selalu mulai dengan cita-rasa menghargai secara mendalam”apakah yang ada pada manusia”[73],
apa yang oleh manusia sendiri telah dikaji dalam lubuk jiwanya mengenai
masalah-persoalan yang paling mendalam dan penting. Pokoknya ialah
menghormati segala sesuatu yang telah dikerjakan dalam dirinya oleh Roh,
yang ”meniup ke mana pun dikehendaki-Nya”[74].
Misi tidak pernah berupa penghancuran, melainkan berarti mengangkat dan
membangun secara segar, juga sekalipun dalam praktek tidak selalu
terdapat kesesuaian dengan cita-cita yang tinggi itu. Dan kita semua
sungguh menyadari bahwa pertobatan yang dibangkitkan oleh perutusan
merupakan karya rahmat, dan bahwa di situlah manusia harus menemukan
kembali dirinya sepenuhnya.
Oleh
karena itu Gereja dewasa ini memandang penting sekali ajaran Konsili
Vatikan II dalam Pernyataannya tentang Kebebasan Beragama dalam bagian
pertama maupun kedua[75].
Sungguh kita sadari, bahwa kebenaran yang oleh Allah diwahyukan kepada
kita membebani kita dengan kewajiban. Secara khas kita sangat menyadari
tanggung jawab kita atas kebenaran itu. Atas ketetapan Kristus Gereja
menjadi penjaga dan guru kebanaran. Gereja ditopang dengan bantuan
istimewa Roh Kudus untuk menjaga dan mengajarkannya seutuhnya dan
secermat mungkin[76]. Dalam menunaikan perutusan itu kami mengarahkan pandangan kepada Kristus sendiri pewarta Injil yang perdana[77],
pun juga kepada para Rasul-Nya, para martir dan saksi-saksi iman.
Pernyataan tentang kebebasan Beragama secara meyakinkan menunjukkan,
bahwa bila Kristus dan sesudah itu para Rasul-Nya mewartakan kebenaran,
yang tidak berasal dari manusia melainkan dari Allah (”Yang Kuajarkan
bukan ajaran-Ku, melainkan ajaran Dia yang mengutus Aku”[78], yakni Bapa), mereka bertindak dengan sepenuh kekuatan Roh yang menjiwai mereka, tetapi sekaligus sangat menghargai manusia, akalbudinya, kehendaknya, hatinuraninya dan kebebasannya[79].
Maka martabat pribadi manusia sendiri termasuk isi pewartaan itu, tidak
senantiasa tercantum dalam kata-kata, melainkan tersirat dalam sikap
terhadapnya. Agaknya sikap itu memang menanggapi kebutuhan-kebutuhan
khas zaman kita. Karena kebebasan manusiawi yang sejati tidak terdapat
dalam segala sesuatu yang oleh pelbagai sistem dan orang-orang tertentu
dianggap dan disiarkan sebagai kebebasan, Gereja berdasarkan misi
ilahinya makin jelas menjadi penjaga kebebasan itu, yang merupakan
syarat dan dasar martabat pribadi manusia yagn sejati.
Yesus
Kristus menjumpai manusia setiap zaman, termasuk zaman kita ini, dengan
amanat yang sama: ”Kamu akan mengenal kebenaran, dan kebenaran akan
membebaskan kamu”[80].
Tercantum dalam sabda itu baik tuntutan yang asasi maupun peringatan:
tuntutan sikap yang jujur terhadap kebenaran sebagai syarat kebebasan
sejati, dan peringatan supaya menghindari tiap bentuk ”kebebasan” yang
semu, tiap kebebasan yang dangkal dan sepihak, tiap kebebasan yang gagal
memasuki kebenaran sepenuhnya tentang manusia dan dunia. Sekarang ini
pun, bahkan sesudah dua ribu tahun, Kristus kita pandang sebagai Dia,
yang menyampaikan kepada manusia kebebasan yang bertumpu pada kebenaran.
Ia membebaskan manusia dari apa pun yang membatasi, mengurangi dan
seakan-akan mematahkan kebebasan itu pada akarnya, dalam jiwa manusia,
dalam hati dan suara-batinya. Betapa mengagumkan itu telah dan masih
juga ternyata dari kesaksian mereka, yang berkat Kristus dan dalam
Kristus telah mencapai kebebasan yagn sejati dan menampilkannya bahkan
dalam situasi-situasi desakan lahiriah!
Ketika
Yesus Kristus sendiri tampil sebagai narapidana di hadapan pengadilan
Pilatus, dan diperiksa olehnya tentang dakwaan yang dituduhkan
terhadap-Nya oleh para wakil Sanhedrin, tidakkah Ia menjawab: ”Untuk
inilah Aku lahir, untuk ini Aku telah memasuki dunia, yakni: memberi
kesaksian akan kebenaran”?[81]
Seolah-olah dengan kata-kata, yang diucapkan-Nya di hadapan hakim pada
saat yang amat menentukan itu Ia sekali lagi mengukuhkan apa yang
sebelumnya pernah diamanatkan: ”Kamu akan mengenal kebenaran, dan
kebenaran akan membebaskan kamu”. Berabad-abad lamanya, melalui sekian
banyak angkatan, sejak zaman para Rasul, tidak seringkah Yesus Kristus
sendiri tampil dipihak orang-orang yang diadili demi kebenaran?Dan
tidakkah Ia menangung maut bersama dengan mereka yang dijatuhi hukuman
demi kebenaran? Pernahkah Ia berhenti sejenak pun menjadi jurubicara dan
pembela manusia yang hidup ”dalam roh dan kebenaran”?[82]. Seperti Ia tidak pernah berhenti demikian di hadirat Bapa, begitu pula sepanjang sejarah umat manusia. Gereja
sendiri pun, kendati segala kelemahan yang merupakan sebagian riwayat
manusiawinya, tiada hentinya mengikuti Dia yang bersabda: ”Saatnya akan
datang dan sudah tibalah sekarang, bahwa para penyembah yang sejati akan
menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki
penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh, dan barangsiapa menyembah
Dia harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran”[83].
III
MANUSIA YANG DITEBUS DAN SITUASINYA DI DUNIA MODERN
13. KRISTUS MENYATUKAN DIRI DENGAN SETIAP MANUSIA.
Bila
melalui pengalaman keluarga manusia yang berlangsung terus menerus dan
bertambah dengan pesatnya kita mendalami misteri Yesus Kristus, kita
makin jelas memahami bahwa pada dasar segala cara yagn harus ditempuh
oleh Gereja masa kini, sesuai dengan kebijaksanaan Paus Paulus VI[84],
terdapat cara tunggal ini, yakni: cara yang sudah berabad-abad lamanya
ternyata tahan uji, sekaligus juga cara untuk masa depan. Secara
istimewa Kristus Tuhan menunjukkan cara itu, ketika-menurut ajaran
Konsili-”melalui Penjelmaan-Nya Putera Allah secara tertentu menyatukan diri dengan setiap manusia”[85].
Oleh karena itu Gereja memandang sebagai tugasnya yang mendasar:
menciptakan kemungkinan agar persatuan itu terlaksana dan tiada hentinya
diperbaharui. Gereja hendak berbakti demi tujuan satu-satunya ini: agar
tiap pribadi mampu menemukan Kristus, supaya Kristus menyertai tiap
pribadi menempuh jalan kehidupan, bertumpu pada kebenaran tentang
manusia dan dunia yang terantum dalam misteri Penjelmaan serta
Penebusan, dan atas daya-kekuatan cintakasih yang dipancarkan oleh
kebenaran itu. Pada latarbelakang proses-proses sejarah yang makin
berkembang, dan yang sekarang ini agaknya membuahkan hasil-hasilnya
khususnya di bidang-bidang pelbagai sistem, konsep-konsep ideologi
masyarakat maupun pemerintah-pemerintah, dalam arti tertentu Yesus
Kristus hadir secara baru, kendati tak jarang Ia nampaknya tidak hadir,
kendati segala batasan-batasan kehadiran Gereja dan kegiatan
kelembagaannya. Yesus Kristus menjadi hadir dengan kekuatan kebenaran
dan cintakasih, yang dalam Dia diungkapkan sepenuhnya secara unik tak
terulang, kendati hidup-Nya di dunia tidak lama, dan kegiatan-Nya di
muka umum bahkan masih lebih pendek lagi.
Yesus Kristus ialah jalan utama bagi Gereja. Dia sendirilah jalan kita ”menuju rumah Bapa”[86]
dan jalan menuju setiap orang. Pada jalan dari Kristus menuju manusia,
jalan Kristus yang menyatukan Diri dengan setiap orang, tidak seorang
pun dapat menghalang-halangi Gereja. Itulah
tuntutan kesejahteraan manusia di dunia ini maupun di akhirat. Karena
menjunjung tinggi Kristus dan menyadari kehidupannya sendiri sebagai
misteri, Gereja tidak dapat acuh tak acuh terhadap apa pun yang
mendukung kesejahteraan manusia yang sejati, seperti juga terhadap apa
yang mengancamnya. Berbagai teks dalam dokumen-dokumen Konsili Vatikan
II mengungkapkan kepedulian Gereja yang mendasar, bahwa perihidup di
”dunia harus lebih menyesuaikan diri dengan keunggulan martabat manusia”[87] dalam segala seginya, untuk ”makin memanusiawikan” hidup[88].
Itulah pokok kepedulian Kristus sendiri, Gembala baik semua orang. Demi
kepedulian itu, seperti tercantum dalam Konstitusi Pastoral Konsili,
”Gereja sama sekalitidak dapat dicampuradukkan dengan negara, dan tidak
terikat pada sistem politik mana pun juga. Sekaligus Gereja itu menjadi
tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia”[89].
Oleh
karena itu pokok persoalan di sini ialah manusia beserta segala
kebenarannya, dalam sepenuh keagungannya. Yang kita hadapi bukan manusia
”abstrak”, melainkan manusia yang riil, ”konkret”, ”menyejarah”. Yang
kita bicarakan ”setiap” manusia, sebab masing-masing tercakup dalam
misteri Penebusan, dan dengan mereka masing-masing Kristus telah
menyatukan Diri selamanya melalui misteri itu. Setiap orang memasuki
dunia karena ia dikandung dalam rahim ibunya, dan lahir dari ibunya, dan
justru berkat misteri Penebusan dipercayakan kepada kepedulian Gereja.
Kepedulian itu meliputi manusia seutuhnya, dan terpusatkan padanya
secara sungguh istimewa. Obyek pemeliharaan Gereja ialah manusia dalam
kenyataan insaninya yang tunggal dan tak terulang, yang tetap memelihara
utuh citra-keserupaan Allah sendiri[90].
Justru kenyataan itulah yang dimaksudkan oleh Konsili, bila dalam
ulasan tentang keserupaan itu mengingatkan bahwa ”manusialah
satu-satunya makhluk di dunia, yang oleh Allah dikehendakidemi dirinya
sendiri”[91].
Manusia selaku ciptaan yang ”dikehendaki” oleh Allah, ”dipilih”
oleh-Nya sejak kekal dan dipanggil, serta dimaksudkan untuk menerima
rahmat dan kemuliaan-itulah”setiap” orang, manusia ”yang paling
konkret”, ”paling nyata”. Itulah lmanusia dalam segala kepenuhan
misteri, yang mengikutsertakannya dalam Yesus Kristus. Dalam misteri itu
masing-masing di antara empat milyar manusia yang hidup di planet kita
telah diikutsertakan sejak saat ia dikandung di bawah jantung ibunya.
14. BAGI GEREJA SEMUA JALAN MENUJU MANUSIA.
Gereja
tidak dapat meninggalkan manusia, sebab ”nasib”-nya, yakni:
pemilihannya, panggilannya, kelahiran dan kematiannya, keselamatan atau
kebinasaannya, begitu erat tak terceraikan berhubungan dengan Kristus.
Yang kami maksudkan di sini justru tiap manusia di planet ini, di bumi
yang oleh sang Pencipta dikurniakan kepada manusia perdana, ketika Ia
bersabda kepada pria dan wanita: ”taklukkan dan kuasailah bumi”[92].
Setiap orang beserta seluruh kenyataan dirinya maupun perbuatannya,
akalbudi maupun kehendaknya, suara-nurani maupun hatinya, yang tidak
terulang. Manusia yang, karena ia ”pribadi”, secara nyata mempunyai
riwayat hidupnya sendiri, dan-penting sekali-riwayat jiwa-nya sendiri.
Manusia yang-sesuai dengan sifat terbuka jiwanya sendiri, pun juga
dengan sekian banyak dan beraneka kebutuhan badan maupun hidupnya dalam
kurun waktu,-menulis kisah pribadinya itu melalui sekian banyak ikatan,
hubungan, situasi dan tatanan sosial yang mempertalikannya dengan
sesama. Ia mulia menulis riwayatnya itu sejak saat pertama hidupnya di
dunia, sejak saat ia dikandung dan dilahirkan. Manusia dalam seluruh
kebenaran hidupnya, keberadaannya secara pribadi, serta kekerabatan
maupun hidup sosialnya-di kalangan keluarganya sendiri, di lingkup
masyarakat dan konteks yang amat beraneka, di lingkungan bangsa atau
masyarakatnya sendiri (barangkali baru hanya marga atau sukunya), dan
dalam pangkuan segenap umat manusia-manusia itulah jalan utama yang
harus ditempuh oleh Gereja dalam menunaikan misinya: manusialah jalan
utama dan mendasar bagi Gereja, jalan yang dirintis oleh Kristus
sendiri, jalan yang senantiasa mengantar manusia melalui misteri
Penjelmaan dan Penebusan.
Justru
manusia itulah, dengan segala kebenaran tentang hidupnya dalam
suarahatinya, dengan kecondongannya terus menerus akan dosa, sekaligus
denganaspirasinya tiada hentinya akan kebenaran, kebaikan, keindahan,
keadilan dan cintakasih, yagn dimaksudkan oleh Konsili Vatikan II, bila
dalam menggariskan situasinya dalam dunia modern selalu beralih dari
unsur=unsur lahir situasi itu kepada kebenaran dalam diri manusia:
”Dalam diri manusia sendiri banyak unsur saling bertarung. Di satu pihak
ia mengalami sebagai makhluk betapa dalam banyak hal ia serba terbatas.
Di pihak lain ia merasakan keleluasaannya dalam keingianan-keinginannya
dan dipanggil untuk perihidup yang lebih luhur. Ia tertarik oleh banyak
hal yang meminta perhatiannya, dan terus menerus harus menentukan
pilihannya di antara hal-hal itu dan melepaskan berbagai pilihan. Memang
sebagai makhluk yang lemah dan penuh dosa ia sering menjalankan hal-hal
yang sebenarnya tidak diinginkannya, dan gagal melakukan yang
sebenarnya dimaksudkannya. Oleh karena itulah ia menanggung perpecahan
batin, dan itulah sumber sekian banyak pertentangan yang sengit dalam
masyarakat”[93].
Manusia
itulah jalan bagi Gereja-jalan yang dalam arti tertentu merupakan dasar
bagi semua jalan lainnya yang harus ditempuh oleh Gereja -sebab
manusia, setiap orang tanpa kekecualian mana pun-telah ditebus oleh
Kristus, dan karena dengan manusia-dengan setiap orang tanpa
kecuali-Kristus dalam arti tertentu bersatu, juga kalau manusia tidak
menyadarinya: ”Kristus, yang wafat dan bangkit bagi semua orang,
menyediakan bagi manusia”-semua dan setiap orang-”terang dan kekuatan
untuk berusaha menghayati panggilannya yang amat luhur”[94].
Karena
manusia itulah jalan bagi Gereja, jalan bagi hidup maupun pengalamannya
sehari-hari, bagi perutusan dan jerih-payahnya, Gereja masa kini harus
menyadari dengan cara yang selalu baru ”situasi” manusia. Itu berarti,
bahwa Gereja perlu menyadari kemungkinan-kemungkinan manusia, yang
setiap kali menyingkapkan lingkup-jangkauannya, dan dengan demikian
makin menampilkan diri. Begitu pula perlulah Gereja menyadari
ancaman-ancaman yang menghadang manusia, dan segala sesuatu yang
nampaknya berlawanan dengan usaha ”makin memanusiawikan kehidupan
manusiawi”[95],
dan makin menyerasikan tiap unsur kehidupan itu dengan martabat
manusiawi yang sejati. Pendek kata, Gereja harus menyadari segala
sesuatu yang bertentangan dengan proses itu.
15. APA YANG DITAKUTI OLEH MANUSIA MODERN.
Oleh
karena itu , sambil tetap menyegarkan kenangan kita akan panorama yang
begitu jelas dan berwibawa ditelusuri oleh Konsili Vatikan II, kita
sekali lagi akan mencoba menyesuaikannya dengan ”tanda-tanda zaman” dan
dengan tuntutan-tuntutan situasi, yang tiada hentinya berubah dan
berkembang ke baerbagai arah tertentu.
Manusia
masa kini agaknya selalu menghadapi ancaman dari pihak apa yang
dihasilkannya sendiri, artinya: buah karya tangannya, bahkan lebih lagi,
hasil karya akalbudinya dan kecondongan-kecondongan kehendaknya.
Terlampau segera, dan sering tanpa diduga sebelumnya, apa yang
dihasilkan oleh sekian banyak kegiatan manusia tidak hanya dapat terkena
oleh ”alienasi”, dalam arti begitusaja direbut dari manusia yang
menghasilkannya, melainkan bahkan berbalik melawan manusia sendiri
setidak-tidaknya sebagian, karena konsekuensi-konsekuensi tak langsung
akibat-akibatnya menentang kesejahteraannya. Hasil karya itu ditunjukkan
atau dapat ditujukan melawan dirinya. Agaknya di situlah terutama letak
drama hidup manusia zaman sekarang dalam dimensinya yang paling luas
dan meliputi semua orang. Maka manusia makin hidup tercekam oleh rasa
takut. Ia cemas, jangan-jangan apa yagn dihasilkannya memang tidak
seluruhnya tentu saja, atau bahkan sebagian terbesarnya, melainkan toh
sebagiannya, danjustru bagian yang mencantum sumbangan khas kecerdasan
danprakarsanya-dapat secara radikal berbalik melawan dirinya. Ia takut,
jangan-jangan itu menjadi upaya dan alat bagi penghancuran diri yagn tak
terbayangkan. Dibandingkan dengan itu segala bencana dan malapetaka
sejarah yang kita kenalnampaknya memudar. Muncullah pertanyaan:
Mengapakah daya-kekuatan yagn dianugerahkan kepada manusia sejak semula,
yang harus dikerahkannya untuk menaklukkan bumi[96],
justru berbalik melawan dia, dan menimbulkan situasi kericuhan yang
meman gmudah dimengerti, keadaan rasa takut dan terancam yang disadari
atau tidak disadari, yang melalui pelbagai cara menyebarluas kepada
segenap keluarga manusia dewasa ini dan menggejala dengan aneka-macam
seginya?
Keadaan
terancamnya manusia oleh hasil karyanya sendiri itu mengejawantah dalam
berbagai arah dan berbagai tingkat intensitas. Agaknya makin
disadarilah kenyataan, bahwa eksploatasi bumi, planet huni manusia,
menuntut perencanaan yang wajar dan jujur. Sementara itu eksploatasi
bumi bukan hanya demi tujuan industri melainkan juga untuk tujuan
militer, begitu pula pengembangan teknologi yagn tak terkendali membawa
serta ancaman terhadap lingkungan alam manusia, justru menjauhkannya
dari alam dan menyingkirkannya dari alam. Nampaknya cukup sering manusia
tidak melihat arti lain pada lingkungan alamnya keculai kegunaannya dan
penggunaannya yang langsung. Padahal kehendak Sang Penciptalah, bahwa
manusia menjalin hubungan dengan alam sebagai ”guru” dan ”penjaga” yang
penuh pengertian dan luhur, dan bukan sebagai ”penghisap” dan ”perusak”
yang gegabah.
Perkembangan
teknologi dan peradaban zaman sekarang, yang ditandai dengna
menanjaknya teknologi, menuntut perkembangan moralitas dan etika yang
sepadan. Sayang sekali, agaknya sekaran gini perkembangan moralitas dan
etika itu selalu serba ketinggalan. Maka kendati ajaibnya kemajuan
itu,-dan di situ memang sulitlah tidak melihat pula tanda-tanda otentik
keagungan manusia, tanda-tanda yang dalam benih-benihnya penuh
daya-cipta disingkiapkan kepada kita dalam Kitab Kejadian, sejak
melukiskan penciptaan manusia[97], -kemajuan itu mau tak mau menimbulkan kegelisahan juga karena banyak alasan. Alasan pertama bagi
kecemasan itu menyangkut pertanyaan hakiki dan mendasar: Benarkah
kemajuan itu, yang diciptakan dan didukung oleh manusia, menjadikan
hidupnya di dunia ”lebih manusiawi” di segala seginya? Benarkah itu
menjadikan hidup makin ”layak bagi manusia”? Pantang diragukan dalam
berbagai aspek memang begitulah adanya. Akan tetapi pertanyaan tetap
kembali mengenai apa yang paling hakiki-benarkah dalam konteks kemajuan
itu manusia sebagai manusia sungguh menjadi lebih baik, artinya
makinmasak kerohaniannya, makin menyadari martabat kemanusiaannya, makin
bertanggung jawab, makin terbuka bagi sesama, khsuusnya bagi yang
paling miskin dan paling lemah, dan lebih bersedia memberi dan membantu
semua orang?
Pertanyaan
itu harus diajukan oleh umat Kristiani justru karena Yesus Kristus
telah menjadikan mereka pada umumnya peka terhadap masalah manusia. Soal
itu juga harus dikemukakan oleh semua orang, khususnya mereka yang
termasuk kelompok-kelompok sosial, yang secara aktif membaktikan diri
kepada perkembangan dan kemajuan masa kini. Sementara memantau dan
berperan serta dalam proses-proses itu janganlah kita dikelabui melulu
oleh hal-hal yang muluk-muluk atau hanyut dalam antusiasme yang berat
sebelah tentang kejayaan-kejayaan kita; melainkan kita sendiri harus
sejujur mungkin, secara obyektif dan penuh kesadaran bertanggung jawab
secara moril, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan hakiki tentang situasi
manusia sekarang dan di masa mendatang.Benarkah segala kemenangan yang
tercapai hingga sekarang dan dirancangkan untuk masa depan teknologi
sesuai dengan kemajuan moril dan rohani manusia? Dalam konteks itu
benarkah manusia sebagai manusia memang berkembang atau maju, atau
sebaliknya sedang mengalami kemunduran dan merosot kemanusiaannya? Dalam
diri orang-orang, dan ”di dunia manusia”, yang dari dirinya merupakan
dunia kebaikan moril dan kejahatan, benarkah kebaikan mengungguli
kejahatan? Dalam diri manusia dan di antara orang-orang benarkah ada
perkembangan cintakasih sosial, sikap menghormati hak-hak sesama-setiap
orang, bangsa dan masyarakat-atau sebaliknya justru berkembangkah
pelbagai tingkatan egoisme, nasionalisme yang berlebihan, dan bukan
cintakasih otentik terhadap negeri sendiri, begitu pula kecenderungan
untuk mendominasi pihak-pihak lain, melampaui batas-batas hak-hak yang
sah serta jasa-jasa pihak tertentu, dan kecondongan untuk
mengeksploatasi seluruh kemajuan materiil, khususnya dalam teknologi
produksi, semata-mata dengan maksud mendominasi sesama atau menopang
imperialisme tertentu?
Itulah
pertanyaan-pertanyaan hakiki, yang Gereja wajib mengajukan kepada diri
sendiri; sebab soal-soal itu sedang ditanyakn secaralebihatau kurang
eksplisit oleh bilyunan orang yang sekarang hidup di dunia. Tema
perkembagnan dankemajuan menjadi buah bibir setiap orang, dan tampil di
rubrik-rubrik semua suratkabar dan terbitan-terbitan lain dalam semua
bahasa dunia modern. Akan tetapi janganlah dilupakan, bahwa topik itu
mencakup bukan saja pernyataan-pernyataan dan kepastian-kepastian,
melainkan juga masalah-masalah dan pokok-pokok yang menimbulkan
kegelisahan. Yang terakhir itu tidak kalah penting dari yang pertama.
Semuanya itu cocok dengan sifat dialektis pengetahuan manusiawi, bahkan
lebih lagi dengan kebutuhan asasi akan kepedulian manusiawi, bahkan
lebih lagi dengan kebutuhan asasi akan kepedulian manusia terhadap
sesamanya, terhadap kemanusiaanya, dan terhadap masa depan masyarakat di
dunia. Diilhami oleh iman akan akhir zaman, Gereja memandang sebagai
unsur hakiki yagn tak terceraikan dalam misinya kepedulian itu terhadap
manusia, terhadap kemanusiaannya, terhadap masa depan umat manusia di
dunia, oleh karena itu juga terhadap arah-jurusan yang ditentukan bagi
seluruh perkembangan dan kemajuan. Gereja menemukan asas kepedulian itu
dalam Yesus Kristus sendiri menurut kesaksian Injil-Injil. Itulah
sebabnya, mengapa Gereja bermaksud mengembangkannya terus menerus
melalui hubungan dengan Kristus sambil membaca situasi manusia dalam
dunia modern menurut tanda-tanda yang terpenting zaman sekarang.
16. KEMAJUAN ATAU ANCAMAN.
Oleh
karena itu bila zaman kita, masa generasi kita menjelang akhir
millennium kedua era Kristiani, mempesonakan segabagai zaman kemajuan
yang pesat, sekaligus nampak juga sebagai masa ancaman dalam aneka
bentuknya bagi manusia. Gereja harus berbicara tentang ancaman itu
kepada semua orang yang beriktikad baik, dan selalu berdialog dengan
mereka. Situasi manusia di dunia modern agaknya memang cukup jauh dari
tuntutan-tuntutan obyektif tata moral, dari persyaratan keadilan, bahkan
lebih lagi dari cintakasih sosial. Di sini yang kami ulas hanyalah apa
yang diungkapkan dalam amanat perdana Sang Pencipta kepada manusia
ketika Ia mempercayakan bumi kepadanya, untuk ”menaklukkannya”[98].
Amanat pertama itu dikukuhkan oleh Kristus Tuhan dalam misteri
Penebusan. Itu dicetuskan oleh Konsili Vatikan II dalam bab-bab yang
ajarannya mengenai ”martabat raja” manusia, maksudnya: panggilannya
untuk berperan serta dalam fungsi rajawi-”munus regale”-Kristus sendiri[99].
Arti pokok ”martabat raja” dan ”kedaulatan” manusia atas alam
yangkelihatan itu, yang oleh Sang Pencipta sendiri diserahkan kepada
manusia sebagai tugasnya, mencakup prioritas etika terhadap teknologi,
keunggulan pribadi terhadap harta-benda, dan keluhuran roh terhadap
materi.
Itulah
sebabnya mengapa semua tahap kemajuan zaman sekarang perlu disimak
dengan seksama. Dapat dikatakan: setiap tahap kemajuan itu harus
di-”sinar Rontgen” dari sudut pandangan itu. Yang dipertaruhkan ialah
kemajuan pribadi manusia, bukan sekedar pelipatgandaan barang-barang
yang dipakai oleh orang-orang. Seperti dikatakan oleh seorang filsuf
masa kini dan dinyatakan oleh Konsili-soalnya bukan pertama-tama
”memiliki lebih”, melainkan terutama ”menjadi lebih”[100].
Memang sudah terasa sekali bahaya yang nyata, jangan-jangan-sementara
kedaulatan manusia atas alam bendawi maju pesat luar biasa-ia sendiri
justru kehilangan kendali-kendali kedaulatannya yang pokok, dan dengan
berbagai cara membiarkan kemanusiaannya ditundukkan oleh dunia, sehingga
ia sendiri menjadi bulan-bulanan sekian banyak manipulasi-kendati
manipulasi itu acap kali tidak langsung kentara-melalui seluruh tatanan
hidup kemasyarakatan, melalui sistem produksi dan melalui tekanan dari
pihak upaya-upaya komunikasi sosial. Manusia tidak dapat meninggalkan
dirinya atau posisinya dalam dunianya yang kelihatan. Ia tidak dapat
menjadi budak harta-benda, budak sistem-sistem ekonomi, budak produksi,
budak produk-produknya sendiri. Peradaban yang pada garisbesarnya
bersifat materialistis belaka menghukum manusia menjadi budak seperti
itu, juga kendati ada kalanya itu tentu saja terjadi bertentangan dengan
maksud-maksud maupun asas-asas para perintisnya sendiri. Kepedulian
masa kini akan manusia pasti pada dasarnya terletak pada masalah itu.
Yang dipersoalkan di sini bukan semata-mata menjawab secara abstrak
persoalan: Siapakah manusia itu? Yang merupakan pokok ialah seluruh
dinamisme kehidupan dan peradaban. Inti masalah yakni makna pelbagai
prakarsa hidup sehari-hari, begitu juga kaidah-kaidah bagi banyak
program peradaban, program-program politik, ekonomi, sosial, kenegaraan,
dan banyak lainnya.
Kami
memberanikan diri melukiskan situasi manusia dalam dunia modern sebagai
sudah jauh dari tuntutan-tuntutan obyektif tata-moral, dari persyaratan
keadilan, bahkan lebih lagi dari cintakasih sosial, karena itu memang
dikukuhkan oleh kenyataan-kenyataan yang sudah diketahui di mana-mana,
begitu pula oleh perbandigan-perbandingan yang pada berbagai kesempatan
sudah menggema dalam pernyataan-pernyataan para Paus, Konsili dan Sinode[101].
Jelaslah situasi manusia sekarang tidak seragam, melainkan ditandai
oleh sekian banyak perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu mempunyai
sebab-musababnya dalam sejarah, tetapi juga mempunyai akibat-akibat yagn
kuat di bidang etika. Memang siapa pun mengenal sekali gambaran
peradaban konsumerisme, yang terdiri dari kelebihan harta-benda yang
dibutuhkan oleh manusia dan masyarakat-masyarakat utuh-yang kami
maksudkan justru masyarakat-masyarakat yang sangat maju dan kaya,
-sedangkan masyarakat-masyarakat lainnya, setidak-tidaknya
sektor-sektornya yang luas, menanggung kelaparan, sementara tiap hari
banyak orang meninggal karena kelaparan dan gizi rendah sekali.
Bersamaan denganya terdapat penyalahgunaan kebebasan olehsuatu kelompok,
dan itu justru penyalahgunaan yang berkaitan dengan sikap konsumtif
yang tidak dikendalikan oleh etika, serta pembatasan oleh kelompok itu
terhadap kebebasan bagian masyarakat lainnya, maksudnya: mereka yang
menanggung kekurangan-kekurangan yang cukup menonjol, dan terpaksa
mengalami kondisi-kondisi kenestapaan dan kemelaratan yang bahkan lebih
buruk lagi.
Pola
yang dikenal baik oleh siapa pun, dan kontras yang disebut-sebut oleh
para Paus abad ini dalam dokumen-dokumen yang menyajikan ajaran mereka,
akhir-akhir ini oleh Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI[102],
seolah-olah membentangkan pengembangan raksasa perumpamaan Kitab Suci
tentang orang kaya yang mengadakan perjamuan dan Lazarus si miskin[103]. Kendala itu tersebar luas sedemikian rupa,
sehingga mempertanyakan mekanisme-mekanisme finansial, moneter,
produksi dan perniagaan, yang berdasarkan pelbagai tekanan politik
menopang perekonomian dunia. Mekanisme-mekanisme itu terbukti tidak
mampu menyehatkan situasi-situasi sosial yang serba tidak adil warisan
masa silam, atau menanggapi tantangan-tantangan yang mendesak dan
tuntutan-tuntutan di bidang etika masa kini. Dengan memasukkan manusia
ke dalam ketegangan-ketegangan yang diciptakannya sendiri, dengan
menguras secara makin cepat sumber-sumber daya materiil dan energi, dan
dengan merusak lingkungan geofisik, struktur-struktur itu tiada hentinya
memperlebar kawasan derita-nestapa, disertai dengan kegelisahan,
frustrasi dan kepahitan.[104]
Yang
kita hadapi di sini suatu drama besar yang tidak dapat membiarkan siapa
pun bersikap masa bodoh. Yang di satu pihak mencoba menggaruk
keuntungan sebesar mungkin, dan di lain pihak membayar biayanya berupa
kerugian dan luka-luka selalu ialah manusia. Drama itu kian bertambah
parah karena adanya berdekatan kelas-kelas sosial yang serba beruntung
dan negeri-negeri yang kaya, yang menimbun harta-kekayaan secara
berlimpah-ruah, sedangkan penyalah-gunaan segala kekayaan itu sering
sekali menimbulkan kendala-kendala yang bermacam-macam. Tambahkan saja
demam inflasi dan bencana pengangguran-semuanya itu menggejalakan
kekacauan moril, yang terpaparkan dalam situasi dunia, dan karena itu
menuntut keputusan-keputusan kreatif yang berani selaras dengan martabat
otentik manusiawi.
Tugas
itu tidak mustahil. Asas solidaritas dalam arti luas harus mengilhami
usaha-usaha yang efektif membentuk lembaga-lembaga dan
mekanisme-mekanisme yang cocok, entah di sektor perdagangan, yang harus
membiarkan persaingan yang sehat memandu perkembangan, atau pada taraf
pembagian ulang harta-kekayaan yang lebih luas dan lebih langsung serta
pengendaliannya, supaya bangsa-bangsa yang perekonomiannya sedang
berkembang mampu tidak hanya memenuhin kebutuhan-kebutuhan pokok mereka,
melainkan juga mengalami kemajuan secara berangsur-angsur dan efektif.
Perjalanan
yang serba sulit mengadakan perubahan yang mutlak perlu dalam
struktur-struktur kehidupan ekonomi tidak akan mudah ditempuh tanpa
intervensi pertobatan budi, kehendak dan hati yang sejati. Tugas itu
meminta komitmen yang tegas dari pihak perorangan maupun bangsa-bangsa
yang bebas dan tergabungkan dalam solidaritas. Sudah terlampau sering
kebebasan dicampuradukkan dengan naluri kepentingan perorangan atau
kolektif, atau dengan naluri perjuangan dan dominasi, entah diselubungi
dengan warna-warni ideologi yang mana pun. Sudah jelaslah naluri-naluri
itu memang ada dan bekerja. Akan tetapi perekonomian yang sungguh
manusiawi tidak akan mungkin kalau naluri-naluri itu tidak ditangani,
dituntun dandikuasai oleh daya-daya manusia yang terdalam, yang serba
menentukan bagi kebudayaan sejati bangsa-bangsa. Daya-daya itulah sumber
usaha-usaha yang akan mencetuskan kebebasan manusia yang sejati, dan
akan mampu menjaminnya juga di bidang ekonomi. Perkembangan ekonomi,
beserta setiap faktor demi berfungsinya secara memadai, terus menerus
harus diprogramkan dan dilaksanakan dalam perspektif perkembangan
semesta bersama pada masing-masing perorangan maupun seluruh bangsa,
seperti secara meyakinkan telah diperingatkan oleh Pendahulu kami Paus
Paulus VI dalam Ensiklik ”Populorum Progressio”. Kalau tidak, kategori
”perkembangan ekonomi” secara tersendiri menjadi kategori yang lebih
tinggi dan membawahkan seluruh hidup manusiawi kepada
tuntutan-tuntutannya yang sepotong-sepotong, sehingga mencekik manusia
sendiri, memecah-belah masyarakat, dan akhirnya menejrat diri dalam
ketegangan-ketegangan dan ekses-eksesnya sendiri[105].
Tugas
itu mungkin dijalankan. Itu terbukti dari peristiwa-peristiwa dan
hasil-hasil tertentu, yang di sini sukar disebutkan secara lebih
teruaraikan. Akan tetapisatu hal sudah pasti; pada dasar sektor yang
raksasa itu perlulah ditetapkan, diterima dan diperdalam kesadaranakan
tanggung jawab moril, yang harus dilaksanakan oleh manusia. Sekali lagi
dan senantiasa manusia.
Tanggung
jawab itu secara khas menjadi jelas bagi kita umat Kristiani, kalau
diingat-dan selalu kita harus mengingatnya-adegan penghakiman terakhir
menurut sabda Kristus yang dicantumkan dalam Injil Matius[106].
Adegan
pada akhir zaman itu senantiasa harus ”diterapkan”pada sejarah manusia;
dan selalu harus dijadikan ”tolok ukur”bagi tindakan-tindakan manusiawi
sebagai garisbesar hakiki untuk pemeriksaan batin oleh semua dan setiap
orang: ”Aku lapar dan kamu tidak memberi makan kepada-KU...telanjang
dan kamu tidak memberi-Ku pakaian...dipenjara dan kamu tidak mengunjungi
Aku”[107].
Sabda itu bertambah berbobot karena disertai peringatan yang bahkan
lebih keras lagi, kalau diingat bahwa Negara-Negera dan bangsa-bangsa
baru yang bangkit untuk hidup merdeka tidak ditawari roti atau bantuan
budaya, melainkan – kadang berlimpahan-senjata-senjata modern dan
upaya-upaya penghancuran yang digunakan untuk berbagai konflik
bersenjata dan perang, yang bukan persyaratan untuk membela hak-hak
mereka yang adil serta kedaulatan mereka, melainkan suatu bentuk cinta
berlebihan akan bangsa sendiri, semacam imperialisme atau
neokolonialisme. Kita semua tahu, bahwa kawasan-kawasan penderitaan dan
kelaparan di bumi kita ini sebenarnya dalam kurun waktu yang singkat
dapat dijadikan subur, kalau investasi-investasi raksasa untuk
persenjataan guna menunjang perang dan penghancuran dirombak menjadi
investasi-investasi untuk makanan dan pengabdian kepada kehidupan.
Barangkali
pertimbangan-pertimbangan itu sebagian akan bersifat ”abstrak”.
Barangkali bagi kedua ”pihak” akan membuka peluang untuk saling menuduh,
sementara kesalahan-kesalahan sendiri dilupakan saja. Barangkali juga
akan mengundang dakwaan-dakwaan baru melawan Gereja. Akan tetapi Gereja,
yagn tidak mempunyai atau dapat mengangkat senjata selain
senjata-senjata rohani, sabda dan cintakasih, tidak dapat melepaskan
pewartaannya tentang ”sabda...bila baik atau tidak baik waktunya”[108].
Oleh karena itu Gereja tiada hentinya meminta masing-masing dari kedua
pihak dan mendesak mereka masing-masing demi nama Allah dan demi
manusia: Jangan membunuh! Jangan menyiapkan penghancuran dan pembantaian
sesama! Ingatlah akan saudara-saudari anda yang merasa lapar dan
menanggung derita! Hormatilah martabat dan kebebasan masing-masing!
17. HAK-HAK MANUSIAWI: ”HURUF” ATAU ”ROH”.
Hingga
sekarang abad ini merupakan abad bencana-bencana yagn dahsyat bagi
manusia, pengrusakan-pengrusakan yang berat, bukan saja di bidang
jasmani, melainakndi bidang moril juga, barangkali malahan terutama di
bidang moril. Memang benar, tidak mudah membandingkan zaman atau abad
tertentu dengan yang lain dari sudut pandangan itu, sebab itu tergantung
pula dari tolok-tolok ukur sejarah yang berbeda-beda. Akan tetapi tanpa
membanding-bandingkan pun mau tak mau nampaklah bahwa abad ini sampai
sekarang menampilkan bagaimana orang-orang menimbulkan banyak
ketidak-adilan dan penderitaan bagi diri mereka sendiri. Apakah proses
itu sudah dikendalikan secara menentukan?Bagaimana pun juga, pada saat
ini kami merasa harus mengenangkan penuh penghargaan dan harapan yagn
mendalam bagi masa depan usaha luar biasa yang dijalankan untuk
membangkitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, usaha yang menunjang perumusan
maupun penetapan hak-hak manusia yang obyektif dan tak boleh dilanggar,
sementara para Negara anggota saling mewajibkan untuk mengindahkannya
secara ketat. Kesanggupan itu telah diterima dan disahkan oleh hampir
semua Negara zaman sekarang, dan itu harus merupakan jaminan, bahwa
hak-hak manusiawi di seluruh dunia akan menjadi prinsip mendasar bagi
usaha-usaha demi kesejahteraan manusia.
Gereja
tidak usah menyatakan lagi betapa erat masalah itu berkaitan dengan
misinya di dunia modern. Memang persoalan itu terletak pada dasar
perdamaian sosial dan internasional, seperti telah dinyatakan oleh Paus
Yohanes XXIII, Konsili Vatikan II, kemudian Paus Paulus VI, dalam
dokumen-dokumen yang serba rinci. Pada hakikatnya perdamaian memang
berarti sikap hormat terhadap hak-hak manusia yang tidak boleh
dilanggar, -”Opus iustitiae pax”, perdamaian ialah karya keadilan,
-sedangkan perang bersumber pada pelanggaran yang lebih berat lagi
terhadapnya akibatnya pelanggaran-pelanggaran yang lebih berat lagi
terhadapnya. Kalau hak-hak manusiawi dilanggar pada masa damai,
pelanggaran itu sangat mengerikan dan dari sudut pandangan kemajuan
menyajikan penampilan kegiatan tak masuk akal, yang ditujukan untuk
melawan manusia. Dan itu sama sekali tidak dapat diselaraskan dengan
program manapun juga yang menganggap diri ”humanistis”. Dan program
sosial, ekonomi, politik atau budaya manakah yang boleh melepaskan
deskripsi itu? Kami sungguh yakin, bahwa di dunia sekarang ini tidak ada
program, yang tidak dengan pasti menonjolkan pentingnya manusia,
kendati yang melandasi program-program itu ideologi-ideologi yagn saling
berlawanan mengenai pandangan dunianya.
Kalau
kendati kaidah-kaidah itu hak-hak manusiawi tetap masih dilanggar
dengan pelbagai cara, kalau menurut kenyataan masih kita saksikan
kamp-kamp penahanan, kekerasan, penganiayaan, terorisme, dan sekian
banyak bentuk diskriminasi, semuanya itu pasti merupakan konsekuensi
kaidah-kaidah lain, yang merongrong dan acap kali hampir meniadakan
tepat-gunanya kaidah-kaidah humanistis yang tertera dalam
program-program dan sistem-sistem modern itu. Mau tak mau itu
membebankan kewajiban untuk terus menerus mengadakan peninjauan ulang
terhadap program-program itu dari sudut pandangan hak-hak manusiawi yang
obyektif dan tak boleh dilanggar.
Deklarasi
Hak-Hak Manusiawi yang berkaitan dengan pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa sudah jelas bertujuan bukan hanya beranjak meninggalkan
pengalaman-pengalaman mengerikan Perang Dunia terakhir, melainkan
sekaligus hendak menciptakan landasan bagi revisi terus menerus
menyangkut program-program, sistem-sistem dan pemerintahan-pemerintahan,
tepatnya dari sudut pandangan mendasar yang satu-satunya itu, yakni
kesejahteraan manusia, atau dapat pula dikatakan : kesejahteraan pribadi
dalam masyarakat. Kesejahteraan itulah yang sebagai faktor asasi
kesejahteraan umum merupakan tolok ukur hakiki bagi semua program,
sistem danpemerintahan. Akan tetapi bila yang terjadi kebalikannya,
hidup manusiawi di masa damai pun harus menanggung pelbagai penderitaan.
Dan bersama dengan penderitaan itu berkembanglah pelbagai bentuk
dominasi, totalitarianisme, neokolonialisme dan imperialisme, yang
merupakan ancaman juga bagi keselarasan hidup bersama bangsa-bangsa.
Memang merupakan kenyataan yang relevan, yang berulang kali dikukuhkan
oleh pengalaman-pengalaman sejarah, bahwa pelanggaran hak-hak manusia
beriringan dengan pelanggaran hak-hak bangsa, karena berdasarkan
ikatan-ikatan organis manusia menyatu dengannya bagaikan dengan keluarga
yang lebih besar.
Sudah
pada paruh pertama abad ini, ketika berbagai totalitarianisme Negara
mengalami perkembangan, yang seperti diketahui membawa kepada bencana
perang yang dahsyat, Gereja dengan jelas menggariskan posisinya
berkenaan denganpemerintahan-pemerintahan itu, yang kesannya saja
mengusahakan kepentingan yang lebih tinggi, yakni kepentingan Negara,
sedangkan menurut sejarah yang diperjuangkan sebenarnya hanyalah
kepentingan partai tertentu, yang diidentikkan dengan Negara.[109]
Menurut kenyataan, pemerintahan-pemerintahan itu membatasi hak-hak para
warganegara dengan menolak untuk mengakui justru hak-hak manusiawi yang
tak boleh dilanggar itu, dan yang telah mencapai perumusannya pada
tingkat internasional pada pertengahan abad ini. Sementara ikut
bergembira bersama semua orang yang beriktikad baik, bersaa merka semua
yang sungguh mencintai keadilan dan damai , pada perjuangan itu Gereja
menyadari bahwa ”huruf” sendiri dapat membunuh, sedangkan hanya ”rohlah
yang memberi kehidupan”[110]; Gereja terus menerus harus menanyakan
bersama mereka yang berkehendak baik itu, benarkah Pernyataan tentang
Hak-Hak Manusiawi dan penerimaan”hurufnya” saja di mana –mana sudah
berarti juga bahwa”semangat”-nya pun diwujudkan secara nyata. Memang
timbullah kekawatiran yang cukup beralasan, jangan-jangan sering sekali
kita masih jauh dari perwujudan nyata itu dan kadang-kadang semangat
kehidupan sosial dan resmi secara menyedihkan berlawanan dengan ”huruf”
hak-hak manusiawi yang dimaklumkan secara resmi. Kenyataan yang amat
membebani masyarakat-masyarakat yang bersangkutan itu menaruh tanggung
jawab yang istimewa atas masyarakat-masyarakat itu dan atas sejarah umat
manusia pada mereka yang berperanserta dalam pembentukannya.
Makna
hakiki Negara sebagai masyarakat politik ialah, bahwa masyarakat dan
rakyat yang mewujudkannya menguasai dan berdaulat atas nasib mereka
sendiri. Makna itu tetap tidak terlaksana, selama yang kita
saksikanbukan pelaksanaan kekuasaan yang disertai partisipasi moril
masyarakat atau rakyat, melainkanjustru bahwa kelompok tertentu
memaksakan kekuasaannya atas semua anggota masyarakat lainnya. Hal itu
sangat pokok pada zaman sekarang ini, yang diwarnai dengan pesatnya
perkembagnan kesadaran sosial rakyat dan meningkatnya kebutuhan yang
bersama-sama itu ada pada para warganegara untuk secara wajar ikut
berperan serta dalam kehidupan politik masyarakat, sambil mengindahkan
kondisi-kondisi nyata masing-masing bangsa dan kekuasaan pemerintah yang
dibutuhkan[111].
Maka itulah soal-soal yang relevan sekali ditinjau dari sudut pandangan
kemajuan manusia sendiri dan perkembangan menyeluruh kemanusiaannya.
Gereja
selalu mengajarkan kewajiban bertindak demi kepentingan umum, dan
dengan demikian mendidik warga-warga negara yang baik bagi tiap Negara.
Lagi pula Gereja senantiasa mengajarkan, bahwa tugas asasi pihak
penguasa ialah kepedulian terhadap kesejahteraan umum masyarakat. Itulah
yang memberi pihak penguasa hak-haknya yang asasi. Justru demi
kaidah-kaidah tata-etika obyektif itulah hak-hak penguasa hanya dapat
dimengerti berdasarkan sikap hormat terhadap hak-hak obyektif manusia
yang tak boleh dilanggar. Kesejahteraan umum yang dilayani oleh penguasa
Negara hanya akan terlaksana sepenuhnya, bila semua warganegara
mempunyai kepastian akan hak-hak mereka. Bila itu tidak ada masyarakat
akan bubar, para warganegara akan melawan pihak penguasa, atau akan
timbul situasi penindasan, intimidasi, kekerasan dan terorisme; tentang
semuanya itu banyak contoh diberikan oleh berbagai sistem totaliter abad
ini. Jadi prinsip hak-hak manusiawi penting sekali di bidang keadilan
sosial, dan merupakan tolok ukur untuk menguji soal keadilan itu dalam
kehidupan badan-badan politik.
Sungguh
tepatlah hak-hak itu dipandang mencakup hak atas kebebasan beragama
beserta hak atas kebebasan hatinurani. Secara khusus Konsili Vatikan II
memandang sungguh perlu, bahwa disiapkan suatu pernyataan yang cukup
panjang tentang tema itu. Itulah dokumen yang disebut ”Dignitatis humanae”[112]. yang
mencantumkan bukan saja pengertian teologis persoalan itu, melainkan
juga pengertian yang tercapai dari sudut pandang hukum kodrati, dengan
kata lain, dari posisi ”manusiawi semata-mata”, berdasarkan asas-asas
yang digali dari pengalaman manusia sendiri, dari akalbudinya dan
citarasanya akan martabat manusiawi.
Jelaslah pengurangan kebebasan beragama orang-orang perorangan dan
kelompok-kelompok masyarakat tidak hanya merupakan pengalaman yang
menyedihkan, melainkanterutama merupakan serangan terhadap martabat
manusia sendiri, terlepas dari agama yang dipeluk atau dari pandangan
tentang dunia yang dianut oleh orang-orang maupun kelompok-kelompok itu.
Pengurangan dan pelanggaran kebebasan beragama berlawanan dengan
martabat manusia serta hak-haknya yang obyektif. Dokumen Konsili itu
tadi cukup jelas menyatakan, apakah sebenarnya pengurangan atau
pelanggaran kebebasan beragama itu. Jelas sekali di situ kita menghadapi
ketidak-adilan yang radikal menyangkut sesuatu yang sangat mendalam
sekali dalam diri manusia, yagn bersifat otentik manusiawi. Benar juga,
bahkan gejala tiadanya iman, hidup tak beragama atau ateisme, sebagai
gejala manusiawi, hanya dpaat dimengerti dalam kaitannya dengan gejala
agama dan iman. Oleh karena itu cukup sulit juga, bahkan dari sudut
pandangan ”manusiawi semata-mata”, menerima posisi yang hanya kepada
ateisme saja memberi hak kewarganegaraan dalam kehidupan umum dan
kemasyarakatan, sedangkan kaum beriman seolah-olah secara prinsipiil
melulu dibiarkan hidup atau diperlakukan sebagai warganegara tingkat
dua, atau malahan-seperti telah terjadi juga-sama sekali dicabut hak-hak
kewarganegaraanya.
Biarpun
hanya secara singkat, tema itu pun harus dibicarakan, sebab termasuk
seluruh jaringan situasi-situasi manusia di dunia masa kini, dan karena
tema itu menjelaskan, seberapa jauh situasi sekarang ini terlampau
dibebani dengan aneka macam prasangka dan ketidak-adilan. Kalau kami
tidak menyajikan ulasan rinci di bidang ini, padahal sebenarnya kami
mempunyai hak dan kewajiban khusus untuk melakukannya, itu terutama
karena –bersama dengansiapa saja yang menanggung siksaan diskriminasi
dan penganiayaan demi nama Allah-kami dipandu oleh iman akan kuasa
penebusan Salib Kristus. Akan tetapi, berdasarkan jabatan kami, kami
menyerukan atas nama segenap umat beriman di seluruh dunia kepada
mereka, yang dengan cara tertentu ikut menentukan penataan perihidup
sosial dan umum, dan memohon dengan sangat, supaya mereka menjunjung
tinggi hak-hak agama dan hak-hak Gereja untuk menjalankan kegiatannya.
Tidak ada privilegi yang diminta, hanyalah sikap hormat terhadap suatu
hak yang sangat elementer. Perwujudan hak itu merupakan salah satu batu
ujian mendasar bagi kemajuan otentik manusiawi pada setiap pemerintahan,
di setiap masyarakat, sistem atau lingkungan hidup.
IV
MISI GEREJA DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA
18. GEREJA PENUH KEPEDULIAN AKAN PANGGILAN MANUSIA DALAM KRISTUS.
Pandangan
yang terpaksa hanya sekilas atas situasi manusia di dunia modern ini
mengajak kita mengarahkan gagasan serta hati kita kepada Yesus Kristus
dan kepada misteri Penebusan. Di situlah persoalan manusia tertera
dengandaya-kekuatan kebenaran dan cintakasih yang istimewa. Karena
Kristus”menyatukan Diri dengan setiap manusia”[113]
Gereja pun secara lebih mendalam menghayati hakikat maupun misinya
sendiri dengan menyelami lubuk misteri itu serta bahasanya yang kaya dan
universal. Bukanlah tanpa alasan Rasul berbicara tentang Tubuh Kristus,
yakni Gereja[114].
Bahwa Tubuh Mistik Kristus itu Umat Allah-seperti kemudian diajarkan
oleh Konsili Vatikan II berdasarkan seluruh tradisi Kitab suci dan para
Bapa Gereja,-itu berarti, bahwa di situ setiap anggota menerima dalam
dirinya nafas kehidupan yang bersumber pada Kristus. Demikianlah,
menghadapi manusia beserta masalah-persoalannya yang nyata,
harapan-harapan maupun penderitaannya, hasil-hasil maupun kegagalannya-itu
pun membantu Gereja sebagai tubuh, suatu organisme, suatu kesatuan
sosial, menangkap dampak-pengaruh ilahi itu juga, cahaya dan
daya-kekuatan Roh yang memancar dari Kristus yang disalibkan dan
bangkit; dan justru karena itulah Gereja menghayati hidupnya. Gereja
hanya mempunyai satu kehidupan, yakni yang dicurahkan kepadanya oleh
Mempelai dan Tuhannya. Benarlah, justru karena Kristus menyatukan Diri
dengannya dalam misteri Penebusan-Nya, Gereja pun harus menyatu erat
dengan tiap orang.
Persatuan
Kristus dengan manusia itu sendiri merupakan misteri. Dari misteri itu
lahirlah ”manusia baru”, dipanggil untuk ikut menghayati kehidupan Allah[115], dan diciptakan baru dalam Kristus demi kepenuhan rahmat dan kebenaran[116].
Persatuan Kristus dengan manusia merupakan kekuatan dan sumber
kekuatan, seperti begitu tegas dinyatakan oleh Santo Yohanes dalam
prolog Injilnya: ”(Sabda) memberi kekuatan untuk menjadi putera-puteri
Allah”[117].
Dalam batinnya manusia mengalami perubahan berkat kekuatan itu sebagai
sumber kehidupan baru, yang tidak menghilangkan atau lewat, melainkan
lestari dalam kehidupan kekal[118].
Kehidupan itu, yang oleh Bapa dijanjikan dan dikurniakan kepada tiap
orang dalam Yesus Kristus, Putera Tunggal-Nya yang kekal, -”ketika
genaplah waktunya”[119],
Ia menjelma dan lahir dari Perawan Maria,-(kehidupan itu) merupakan
pemenuhan panggilan manusia yang mutakhir. Dalam arti tertentu itulah
terpenuhinya ”tujuan”, yagn oleh Allah disediakan abginya sejak kekal.
”Tujuan ilahi” itu tetap mengalami kemajuan, kendati segala teka-teki,
masalah-persoalan yang tidak dipecahkan, liku-liku dan seluk-beluk
”nasib manusiawi” dalam kurun waktu. Benarlah, sementara semuanya itu,
kendati segala kekayaan hidup di kurun waktu, mau tak mau dan niscaya
mengantar kepad perbatasan maut dan sasaran penghancuran tubuh
manusiawi, melampui tujuan itu kita memandang Kristus. ”Akulah
kebangkitan dan kehidupan. Barangsiapa beriman akan Daku...tidak pernah
akan mati”[120].
Dalam Yesus Kristus , yang disalibkan dan dimakamkan, kemudian bangkit,
”harapan kita akan kebangkitan menyingsing..., janji gemilang kehidupan
kekal”[121]. Dalam
perjalanan ke situ manusia, melalui kematian tubuh, berbagi bersama
seluruh alam makhluk yang kelihatan keharusan yang dihadapi oleh materi.
Kita bermaksud dan mencoba menduga kian mendalam bahasa kebenaran, yang
oleh Penebusan manusia dibingkai dalam sabda-Nya: ”Rohlah yang memberi
kehidupan, daging sama sekali tidak berguna”[122].
Kendati segala kesan, kata-kata itu mencetuskan pernyataan yang paling
luhur tentang manusia-pernyataan, bahwa tubuh dihidupkan oleh Roh.
Gereja
menghayati kenyataan-kenyataan itu, menghayati kebenaran tentang
manusia, yang memampukannya melampaui batas-batas kehidupan sementara,
dan sekaligus mempertimbangkan dengan cintakasih dan kepedulian yang
khas segala sesuatu dalam dimensi-dimensi kurun waktu, yang berdampak
atas kehidupan manusia dan kehidupan jiwannya, yang mencerminkan
kegelisahan tiada hentinya menurut kata-kata Santo Agustinus: ”Engkau
menciptakan kami bagi diri-Mu, ya Tuhan dan hati kami tetap gelisah
selam abelum beristirahat dalam Dikau”[123]. Dalam kegelisahan yang
kreatif itu berdetak dan berdenyutlah apa yang paling mendalam
manusiawi, yakni: kerinduan akan kebenaran, kebutuhan tak terpuaskan
akan kebaikan, rasa lapar akan kebebasan, nostalgia akan keindahan, dan
bisikan hatinurani. Dalam usahanya memandang manusia seakan-akan dengan
”mata Kristus sendiri”, Gereja makin menyadari diri sebagai penjaga
khazanah yang agung, yang tidak boleh dihambur-hamburkan, melainkan
harus bertambah terus menerus. Memang Tuhan Yesus bersabda: ”Barangsiapa
tidak mengumpulkan bersama-Ku, mencerai-beraikan”[124]. Harta-karun kemanusiaan itu diperkaya oleh misteri tak terkatakan keputeraan ilahi[125] dan oleh rahmat ”pengangkatan menjadi putera-puteri”[126] dalam Putera Tunggal Allah, yang menyebabkan kita berseru kepada Allah ”Abba, ya Bapa!”[127].
Kekayaan itu juga merupakan daya-kekuatan besar, yang menyatukan Gereja
terutama secara batin, dan memberi makna kepada segala kegiatannya.
Berkat kekuatan itu Gereja dipersatukan dengan Roh Kristus, Roh Kudus
yang dijanjikan dan tiada hentinya dicurahkan oleh Sang Penebus, dan
yang turun-Nya seperti diwahyukan pada hari Pentekosta, berlangsung
selama-lamanya. Begitulah daya kekuatan Roh[128], kurnia-kurnia Roh[129], dan buah-buah Roh Kudus[130]
diwahyukan di antara manusia. Agaknya Gereja zaman sekarang dengan
semangat makin menggebu dan desakan kudus mengulang-ulangi: ”Datanglah,
Roh Kudus!”. Datanglah! Ya, datanglah!”Sembuhkanlah luka-luka kami,
perbaharuilah kekuatan kami. Siramilah kegersangan kami dengan embun-Mu;
basuhlah cela-cela kesalahan kami; lenturkanlah hati dan kehendak yang
kaku; luluhkanlah yang membeku, hangatkanlah yang dingin; bimbinglah
langkah-langkah yang sesat”[131].
Seruan
kepada Roh Kudus untuk menerima-Nya itu merupakan jawaban terhadap
segala jenis ”materialisme” zaman sekarang. Materialisme itulah yang
melahirkan sekian banyak perasaan tak terpuaskan dalam hati manusia.
Seruan itu terdengar di pelbagai pihak dan agaknya menghasilkan buahnya
dengan berbagai cara. Dapatkah dikatakan, bahwa Gereja bukanlah
satu-satunya yang melambungkan seruan itu? Memang, sebab ”kebutuhan”
akan kerohanian diungkapkan juga oleh orang-orang yang berada di luar
batas-batas kelihatan Gereja[132].
Tidakkah itu dikukuhkan oleh kebenaran tentang Gereja, yang oleh
Konsili terakhir begitu tegas digarisbawahi dalam Konstitusi Dogmatis
”Lumen Gentium”, bila mengajarkan bahwa Gereja merupakan ”sakramen atau
tanda dan upaya persatuan mesra dengan Allah, dan kesatuan segenap umat
manusia”?[133]
Seruan kepada Roh Kudus untuk menerima-Nya itu sungguh merupakan
integrasi diri terus menerus ke dalam keagungan misteri Penebusan yang
sepenuhnya; di situlah Kristus, bersatu dengan Bapa dan dengan setiap
orang, tiada hentinya mengurniakan kepada kita Roh, yang mencurahkan ke
dalam diri kita citarasa Putera dan mengarahkan kita kepada Bapa[134].
Itulah sebabnya mengapa Gereja masa kini-zaman yang sangat mendambakan
Roh, karena banyak merindukan keadilan, perdamaian, cintakasih,
kebaikan, kekuatan, tanggung jawab dan martabat manusiawi-harus hidup
berpusatkan Misteri itu dan berhimpun di sekitarnya, untuk menemukan di
dalamnya terang dan kekuatan yang mutlak perlu bagi perutusannya. Sebab
kalau-seperti sudah dikatakan-manusia memang jalan bagi hidup Gereja
sehari-hari, Gereja selalu harus menyadari martabat pengangkatan ilahi yang diterima oleh manusia dalam Kristus melalui rahmat Roh Kudus[135] serta tujuan hidupnya dalam rahmat dan kemuliaan[136].
Dengan setiap kali merenungkan semuanya itu lagi, dan dengan
menerimanya dalam iman yang kian sadar serta cintakasih yang makin
teguh, Gereja juga menjadikan diri lebih cakap melayani manusia, menurut
panggilan Kristus Tuhan yang bersabda:”Putera manusia datang bukan
untuk dilayani, melainkan untuk melayani”[137].
Gereja menunaikan pelayanan itu dengan berperan serta dalam ”jabatan
beserta tiga aspeknya” yang ada pada Guru dan Penebusnya. Ajaran itu
beserta dasar kitabiahnya dikemukakan sepenuhnya oleh Konsili Vatikan
II, dan banyak mendukung kehidupan Gereja. Sebab bila kita sadar, bahwa
kita berperan serta dalam misi Kristus dengan ketiga aspeknya, sebagai
imam, nabi dan raja[138],
kita lebih menyadari juga apa yang perlu dilayani oleh Gereja
seluruhnya sebagai masyarakat dan persekutuan Umat Allah di dunia, lalu
kami fahami pula, bagaimana kita masing-masing harus iktu serta
menjalankan misi dan pelayanan itu.
19. GEREJA BERTANGGUNG JAWAB ATAS KEBENARAN.
Dalam terang ajaran kudus konsili Vatikan II, Gereja tampil bagi
kita sebagai subyek sosial tanggung jawab atas kebenaran ilahi. Hati
kami sungguh tersentuh mendengarkan amanat Kristus sendiri: ” Sabda yang
kamu dengar bukan sabda-Ku, melainkan sabda Bapa yang mengutus Aku”[139].
Tidakkah dalam pernyataan Guru kita itu kita saksikan adanya tanggung
jawab atas kebenaran yang diwahyukan, yang menjadi ”milik” Allah
sendiri, karena bahkan ”Putera Tunggal” sendiri, yang hidup ”di pangkuan
Bapa”[140],
sementara menyalurkan kebenaran itu sebagai nabi dan guru, merasa perlu
menekankan, bahwa Ia bertindak dalam kesetiaan penuh terhadap sumber
ilahinya? Kesetiaan itu jugalah yang harus merupakan sifat hakiki iman
Gereja, bila Gereja mengajarkannya maupun mengikrarkannya. Iman sebagai
keutamaan adikodrati khusus, yang dicurahkan ke dalam jiwa manusia,
mengikut-sertakan kita dalam pengertian Allah sebagai jawaban terhadap
sabda yang diwahyukan-Nya. Oleh karena itu, bila Gereja mengikrarkan dan
mengajarkan iman, Gereja wajib berpegang pada kebenaran ilahi dengan
cermat[141], serta menerjemahkannya menjadi sikap sungguh nyata ”ketaatan yang selaras dengan akalbudi”[142].
Kristus sendiri, yang penuh kepedulian akan kesetiaan terhadap
kebenaran ilahi itu, menjanjikan kepada Gereja bantuan istimewa Roh
kebenaran, menganugerahkan kurnia infalibilitas (sifat tidak dapat
sesat)[143] kepada mereka yang diperintahkan-Nya untuk menyalurkan dan mengajarkan kebenaran itu[144]-seperti memang dengan jelas sudah ditetapkan sebagai definisi juga oleh Konsili Vatikan I[145], dan kemudian diulang oleh Konsili Vatikan II[146],-kemudian Kristus menganugerahkan kepada segenap Umat Allah citarasa iman yang istimewa[147].
Oleh
karena itu kita ikut serta melaksanakan misi kenabian Kristus itu, dan
atas perutusan itu kita bersama dengan-Nya mengabdi kebenaran ilahi
dalam Gereja. Bertanggung jawab atas kebenaran itu berarti juga
mencintainya dan berusaha memahaminya secermat mungkin, untuk kian
mendekatkannya dengan diri kita dan dengan sesama beserta segala daya
penyelamatnya, kecemerlangannya, kedalaman dan kesederhanaanya. Cinta
dan aspirasi untuk memahami kebenaran itu harus beriringan, seperti
ternyata juga dari riwayat hidup para kudus dalam Gereja. Secara amat
gemilang mereka menerima cahaya sejati yang memancar dari kebenaran
ilahi, dan mendekatkan kenyataan Allah sendiri, karena mereka
menghampiri kebenaran itu dengan khidmat dan kasih-kasih pertama-tama
terhadap Kristus, Sabda kebenaran ilahi yang hidup, kemudian kasih pula
terhadap ungkapan manusiawinya dalam Injil, tradisi dan teologi.
Sekarang pun kita terutama masih memerlukan pemahaman dan penafsiran
Sabda Allah itu: kita butuhkan teologi itu. Teologi di masa lampau dan
sekarang pun tetap masih relevan sekali bagi Gereja, Umat Allah, untuk
mampu berperan serta secara kreatif dans ubur dalam perutusan Kristus
selaku Nabi. Oleh karena itu, bila para teologsebagai abdi kebenaran
ilahi membaktikan studi dan jerih-payah mereka untuk kian mendalam
menyelami kebenaran itu, mereka tak pernah dapat lupa akan makna
pengabdian mereka dalam Gereja, yang terangkum dalam pengertian ”intellectus fidei”, ”pemahaman iman”. Faham itu dapat dikatakan mempunyai fungsi dua jurusan, menurut ungkapan Santo Agustinus: ”intellege ut credas-crede, ut intellegas”[148]
”fahamilah untuk beriman-berimanlah untuk memahami”. Pemahaman itu
berfungsi dengan seksama, bila para teolog berusaha melayani
Magisterium, yang dalam Gereja dipercayakan kepada para Uskup yang
terhimpun karena ikatan persekutuan hirarkis dengan Penggantian Petrus,
bila mereka mengabdikan diri kepada kepedulian mereka dalam mengajar dan
menjalankan reksa pastoral, dan membaktikandiri kepada
kesanggupan-kesanggupan kerasulan segenap Umat Allah.
Seperti
pada abad-abad yang silam, dan barangkali sekarang masih lebih dari di
masa lampau, para teolog dan pakar-pakar dalam Gereja sekarang dipanggil
untuk menyatukan iman dengan keahlian dan kebujaksanaan, supaya
ketiganya saling berpadu, seperti tercantum dalam doa liturgi untuk
mengenangkan Santo Albertus Pujangga Gereja. Dewasa ini tugas itu
berkembang dengan luar biasa, karena kemajaun ilmu-pengetahuan,
metodologinya, dan prestasi-prestasi dalam pengetahuan tentang dunia dan
manusia. Itu menyangkut baik ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu
manusiawi, begitu juga filsafat, yang seperti diingatkan oleh Konsili
Vatikan II bertalian erat dengan teologi[149].
Di
bidang ilmu-pengetahuan, yagn terus menerus meluas sekaligus juga
mengalami diferensiasi, iman pun perlu diselidiki secara mendalam untuk
membentangkan keagungan misteri yang diwahyukan, untuk makin menyelami
kebenaran, yang Sumbernya tertinggi ialah Allah sendiri. Memang sudha
sewajarnya dan bahkan diinginkan juga, bahwa karya raksasa yang perlu
dijalankan dalam haluan itu mempertimbangkan pluralisme tertentu perihal
metodologi. Akan tetapi karya itu tidak dapat beranjak dari kesatuan
asasi dalam pengajaran iman maupun tata-susila, yang merupakan
tujuannya. Maka dari itu mutlak perlulah teologi bekerja sama erat
dengan Magisterium. Secara khas tiap teolog harus menyadari apa yang
dinyatakan oleh Kristus sendiri ketika bersabda:”Sabda yang kamu dengar
bukan sabda-Ku, melainkan sabda Bapa yang mengutus Aku”[150].
Oleh karena itu tidak seorang pun boleh menjadikan teologi seolah-olah
ramuan gagasan-gagasannya sendiri semata-mata; melainkan siapa pun harus
menyadari diri dalam persatuan erat dengan misi mengajarkan kebenaran,
yang termasuk tanggung jawab Gereja.
Partisipasi
dalam jabatan kenabian Kristus sendiri membentuk kehidupan seluruh
Gereja dalam dimensinya yang mendasar. Peran serta istimewa dalam fungsi
itu ada pada Gembala-Gembala Gereja, yang mengajarkan dan tiada
hentinay serta dengan aneka cara mewartakan dan menyalurkan ajarna
tentang iman serta tata-susila Kristiani. Pengajaran itu, dalam segi
misionernya maupun selaku pengajaran biasa, membantu menghimpun Umat
Allah di sekitar Kristus, menyiapkan keikut-sertaan dalam perayaan
Ekaristi, dan menunjukkan cara-cara kehidupan sakramental. Pada tahun
1977 Sinode para Uskup secara istimewa memperhatikan katekese dalam
dunia modern, dan buah-buah masak yang dihasilkan melalui segala
musyawarah, pengalaman dan saran-saran tidak lama lagi-sesuai dengan
usul yang diajukan oleh para peserta Sinode-akan dirumuskan dalam
dokumen kepausan yagn khusus. Pastilah katekese merupakan suatu bentuk
yang tetap dan mendasar kegiatan Gereja bentuk pewartaan yang
menampilkan ciri kenabian Gereja: kesaksian dan pengajaran berlangsung
bersama. Sungguhpun di sini kami terutama sekian banyak religius pria
maupun wanita, yang membaktikan diri kepada kegiatan katekese demi
cintakasih akan Sang Guru ilahi. Akhirnya sukar pula tidak menyebutkan
sekian banyak umat awam, yang dalam kegiatan itu mengungkapkan iman
maupun tanggung jawab apostolis mereka.
Selanjutnya makin perlu diusahakan, agar pelbagai bentuk katekese dan aneka bidangnya –mulai dengan bidang dasar yakni katekese keluarga,
artinya katekese anak-anak oleh orangtua mereka-membuktikan, bahwa
segenap Umat Allah serentak berperan serta dalam tugas kenabian Kristus
sendiri. Berkaitan dengan itu tanggung jawab Gereja atas kebenaran ilahi
harus makin serentak berperan serta dalam tugas kenabian Kristus
sendiri. Berkaitan dengan itu tanggung jawab Gereja atas kebenaran ilahi
harus makin serentak pula dipikul oleh semu aanggota dengan aneka cara.
Apakah yang pada saat ini akan kami kemukakan tentang
para pakar berbagai ilmu, mereka yang mewakili ilmu-pengetahuan alam
dan bidang sastra, para dokter, ahli-ahli hukum, seniman-seniwati
danpara ahli teknik, pengajar-pengajar di berbagai tingkat dan dengan
aneka spesialisasi mereka? Selaku warga Umat Allah mereka semua akan
memainkan peranan mereka masing-masing dalam misi kenabian Kristus dan
pengabdian kepada kebenaran ilahi, antara lain dengan bersikap jujur
terhadap kebenaran, entah termasuk bidang mana pun, sambil membina
sesama dalam kebenaran dan mengajar mereka menjadi makin dewasa dalam
cintakasih dan keadilan. Jadi kesadaran bertanggung jawab atas kebenaran
merupakan salah satu pokok mendasar dalam perjumpaan antara Gereja dan
setiap orang, begitu pula salah satu tuntutan asasi yang
menentukanpanggilanmanusia dalam persekutuan Gereja. Gereja masa kini,
dibimbing oleh kesadaran bertanggung jawab atas kebenaran, harus
bertabah dalam kesetiaan terhadap hakikatnya sendiri, termasuk di situ
misi kenabian yang berasal dari Kristus sendiri: ”Seperti Bapa mengutus
Aku, begitu pula Aku mengutus kamu...Terimalah Roh Kudus”[151].
20. EKARISTI DAN PERTOBATAN.
Dalam
misteri penebusan, artinya dalam karya penyelamatan Yesus Kristus,
Gereja tidak hanya berpartisipasi dalam Injil Gurunya melalui kesetiaan
terhadap sabda dan pengabdian kepada kebenaran. Melalui penyerahan diri
penuh harapan dan cintakasih Gereja juga berperan serta dalam
daya-kekuatan karya Penebusan yang diungkapkan dan dituangkan oleh-Nya
dalam bentuk sakramental, khususnya dalam Ekaristi[152].
Ekaristi merupakan pusat dan puncak seluruh hidup sakramental, jalan
bagi tiap orang Kristiani untuk menerima daya penyelamat Penebusan,
mulai dengan misteri Baptis, saat kita dikuburkan ke dalam wafat
Kristus, untuk iktu serta dalam Kebangkitan-Nya[153], seperti diajarkan oleh Rasul. Dalam
terang ajaran itu masih lebih jelas lagilah alasan, mengapa seluruh
hidup sakramental Gereja dan tiap orang Kristiani mencapai puncak maupun
kepenuhannya dalam Ekaristi. Sebab atas kehendak Kristus dalam Sakramen
itu terus menerus diperbaharui misteri pengorbanan Diri Kristus kepada
Bapa di mesbah Salib, Korban yang diterima oleh Bapa. Sedangkan untuk
menanggapi pengorbanan Diri Putera-Nya seutuhnya itu, yang ”menjadi taat
sampai mati”[154],
Bapa menganugerahkan kurnia kebapaan-Nya sendiri, yakini anugerah
kehidupan baru yang tak mengenal maut dalam kebangkitan. Sebab Bapalah
sumber pertama dan pemberi kehidupan sejak awalmula. Kehidupan baru,
yang mencakup kemuliaan badani Kristus yang disalibkan, menjadi tanda
yang efektif, membuahkan kurnia baru yang dicurahkan kepada umat
manusia, yakni Roh Kudus. Berkat Roh itulah kehidupan ilahi, yang ada
dalam Pribadi Bapa sendiri dan disalurkan-Nya kepada Putera-Nya[155], dikurniakan kepada semua orang yang bersatu dengan Kristus.
Ekaristi
ialah Sakramen yang paling sempurna persatuan itu. Dengan merayakan
Ekaristi dan berpartisipasi juga dalamnya kita di dunia maupun di surga
menyatukan diri dengan Kristus, yang menjadi Pengantara kita di hadirat
Bapa[156].
Akan tetapi itu selalu kita jalankan melalui tindakan penebusan
Korban-Nya untuk menebus kita, sehingga kita ”dibeli dengan harga”[157].
Adapun ”harga” penebusan kita membuktikan lebih jelas lagi nilai yang
dikenakan oleh Allah sendiri pada manusia, serta martabat kita dalam
Kristus. Sebab dengan menjadi ”anak-anak Allah”[158], putera-puteri angkat[159], kita menyerupai Dia juga menjadi ”kerajaan dan imam-imam”, dan menerima ”imamat rajawi”[160].
Maksudnya kita ikut menerima pemulihan manusia dan dunia, pengembalian
yang sangat istimewa dan pantang ditarik kemabli itu kepada Bapa, yang
seklai untuk selamanya dilaksanakan oleh Dia sebagai Putera yang kekal[161]
maupun manusia yang sejati. Dalam Sakramen Ekaristi jatidiri kita yang
baru diungkapkan seutuh mungkin, serta Kristus sendiri tiada hentinya
dan tiap kali secara baru ”memberi kesaksian” dalam Roh Kudus kepada roh
kita[162],
bahwa kita masing-masing yang ikut menghayati misteri Penebusan, dapat
mencapai bauh-hasil pendamaian kita sebagai putera-puteri dengan Allah[163]; pendamaian itu oleh Allah sendiri telah diwujudkan dan tiada hentinya diwujudkan di antara kita melalui pelayanan Gereja.
Termasuk kebenaran hakiki, bukan saja soal ajaran melainkan soal kehidupan juga, bahwa Ekaristi membangun Gereja[164]
sebagai persekutuan otentik Umat Allah, jemaat kaum beriman, yang
ditandai kesatuan yang sama seperti para Rasul dan murid-murid pertama
Tuhan. Setiap kali Ekaristi mebangun lagi rukun hidup dan kesatuan itu,
dan melahirkannya berdasarkan Korban Kristus, karena merupakan kenangan
akan wafat-Nya di Salib[165],
harga bagi penebusan kita. Oleh karena itu dalam Ekaristi kita sentuh
degnan cara tertentu misteri Tubuh dan darah Tuhan sendiri, seprti
ditegaskan dengan kata-kata yang dipakai ketika Ekaristi diadakan.
Karena institusi itulah kata-kata itu digunakan oleh mereka yang
dipanggil untuk pelayanan itu dalam Gereja, setiap kali mereka merayakan
Ekaristi.
Gereja hidup dari Ekaristi, karena kepenuhan Sakramen itu, yang isi maupunmaknanya yang mengagumkan sudah sering diungkapkan oleh Magisterium Gereja sejak zaman kuno hingga sekarang[166].
Akan tetapi dengan pasti dapat dikatakan, bahwa-meskipunajaran itu
ditopang oleh ketajaman refleksi para teolog, oleh mereka yang mempunyai
iman serta hidup doa yang mendalam, dan oleh mereka yang berulah-tapa
dan mistik, dalam kesetiaan sepenuhnya terhadap misteri Ekaristi,-ajaran
itu baru mencapai ambang pintunya; sebab tidak mampu menangkap dan
menuangkan dalam kata-kata, apakah sebenarnya Ekaristi itu dalam segala
kepenuhannya, apakah yang dilambangkan dan diwujudkan secara nyata
olehnya. Memang Ekaristi ilaha Sakramen yang tak terungkapkan! Komitmen
yang hakiki, dan terutama rahmat serta sumber yang nampak bagi kekuatan
adikodrati Gereja sebagai Umat Allah harus tetap bertahan dan terus maju
dalam kehidupan Ekaristi serta devosi kepadanya, dan harus
mengembangkan hidup rohani dalam iklim Ekaristi. Maka berdasarkan alasan
yang masihlebh kuat lagi janganlah kita dalam gagasan, kehidupan maupun
tindkaan meniadakan dari Sakramen yang Mahakudus itu keagungannya yang
sepenuhnya dan maknanya yang hakiki. Ekaristi
sekaligus merupakan Sakramen-Korban, Sakramen –Persekutuan dan
Sakramen-Kehadiran. Dan walaupun Ekaristi memang senantiasa telah dan
tetap harus merupakan perwahyuan terdalam persaudaraan manusiawi para
murid dan saksi Kristus, Ekaristi tidak dapat diperlakukan melulu
sebagai ”kesempatan” untuk
menampakkan persaudaraan itu. Bila Sakramen Tubuh dan Darah Tuhan
dirayakan, keagungan sepenuhnya misteri ilahi tetap harus dihormati,
begitu pula makna sepenuhnya lambang sakramental itu, karena di situlah
Kristus sungguh hadir dan diterima, jiwa dipenuhi dengan rahmat, dan
jaminan kemuliaan kekal diberikan[167].
Itulah
dasar kewajiban untuk mematuhi dengan seksama peraturan-peraturan
liturgi dan apa pun yang merupakan perwujudan ibadat jemaat yang
dipersembahkan kepada Allah sendiri. Apa lagi karena dalam lambang
sakramental itu Ia mempercayakan Diri kepada kita dengan kepercayaan
yang tak terbatas, seolah-olah tanpa mempertimbangkan kelemahan
manusiawi kita, ketidak-pantasan kita, kekuatan kebiasaa, rutin, atau
bahkan risiko tindakan melukai. Tiap warga Gereja, khsusunya para Uskup
dan imam-imam, harus dengan waspada mengusahakan, agar Sakramen
cintakasih itu berada di pusat kehidupan Umat Allah, sehingga melalui
segala ungkapan ibadat yang selayaknya diberikan kepada-Nya cintakasih
Kristus ditanggapi dengan cintakasih, dan Kristus sungguh menjadi
”kehidupan bagi jiwa-jiwa kita”[168].
Di lain pihak jangan pernah pula pula dilupakan kata-kata Santo Paulus:
”Hendaklah setiap orang menguji dirinya, kemudian makan dari roti dan
minum dari piala itu”[169].
Seruan
Rasul itu sekurang-kurangnya secara tidak langsung menunukkan hubungan
erat antara Ekaristi dan Pertobatan. Memang amanat pertama ajarna
Kristus, kalimat pertama Warta Gembira, ialah ”Bertobatlah dan
percayalah akan Injil” (”metanoeite”)[170].
Sakramen Sengsara, Salib dan Kebangkitan agaknya meneguhkan dan
memantapkan secara sungguh istimewa seruan itu dalam jiwa kita.
Begitulah Ekaristi dan Pertobatan dalam arti tertentu menjadi dua
dimensi yang erat terpadu dalam kehidupan otentik sesuai dengan semangat
Injil, hidup Kristiani sejati. Kristus yang mengundang kepada perjamuan
Ekaristi selalu ialahat Kristus yang juga mendorong kita untuk
berulah-tapa dan mengulangi seruannya: ”Bertobatlah”[171].
Tanpa usaha pertobatan yang terus menerus dan tiap kali diperbaharui
itu, partisipasi dalam Ekaristi akan kehilangan kepenuhan buah-hasilnya
dalam penebusan; kemudian akan hilang atau setidak-tidaknya menajdi
kendurlah kesediaan khas untuk mempersembahkan kepada Allah korban
rohani[172], yang mengungkapkan keikut-sertaan kita dalam imamat Kristus secara hakiki dan universal. Dalam
Kristus imamat berkaitan dengan Korban-Nya, penyerahan Dirinya kepada
Bapa. Dan justru karena tiada batasnya, penyerahan Diri itu menimbulkan
pada kita manusia, yang dalam sekian banyak hal serba terbatas,
kebutuhan untuk kembali kepada Allah secara kian masak, dan dalam
pertobatan terus menerus yang makin mendalam.
Dalam
tahun-tahun terakhir ini banyak telah diusahakan untuk-sesuai dengan
tradisi Gereja yang sangat kuno-dalam praktek Gereja menggarisbawahi
aspek persekutuan dalam pertobatan dan khususnya dalam sakramen Tobat.
Akan tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa pertobatan merupakan tindakan
batin yang mendalam sekali. Di situ orang tidak dapat digantikan oleh
orang-orang lain atau menganggap jemaat menjadi wakilnya. Sungguhpun
ikut-sertanya persekutuan saudara-saudari siman dalam selebrasi tobat
sangat mendukung tindakan pertobatan pribadi, pada dasarnya perlulah
dalam tindakan itu ada pernyataan pribadi yang sedalam-dalamnya
bersumber pada suarahati sendiri, disertai kesadaran bersalah dan
kepercayaan setulus-tulusnya akan Allah, semenetara seperti penyair
Mazmur orang menempatkan diri di hadirat Allah untuk mengakui: ”Terhadap
Engkaulah....aku telah berdosa”[173].
Oleh karena itu dengan setia mematuhi praktek Sakramen Tobat
berabad-abad lamanya, yakni praktek pengakuan pribadi disertai
penyesalan yang pribadi pula dan maksud untuk memeprbaiki diri dan
memberi pemulihan-Gereja membela hak masing-masing jiwa manusiawi, yakni
hak manusia untuk secaralebih pribadi menjumpai Kristus yang disalibkan
dan mengampuni dosa, Kristus yang melalui pelayan sakramen Pendamaian
bersabda: ”Dosa-dosamu diampuni”[174]; ”Pergilah, dan janganlah berdosa lagi”[175].
Jelas jugalah itu merupakan hak Kristus pula terhadap tiap manusia yang
ditebus-Nya: hak-Nya untuk bertemu dengan kita masing-masing pada saat
sepenting itu bagi kehidupan jiwa, saat pertobatan dan pengampunan.
Dengan menjaga sakramen Tobat, Gereja dengan tegas menyatakan imannya
akan misteri Penebusan sebagai kenyataan yang hidup dan menghidupkan,
yang menanggapi kebenaran batin manusia, kesalahan manusiawi pun juga
kerinduan hatinurani manusiawi. ”Berbahagialah mereka yang lapar dan
haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”[176]. Sakramen Tobat ialah upaya untuk memenuhi kerinduan manusia akan kebenaran, yang berasal dari Sang Penebus sendiri.
Dalam
Gereja, yang sekarang secara khas berhimpun di sekitar Ekaristi, dan
menginginkan agar jemaat Ekaristi yang otentik menjadi tanda kesatuan
segenap umat Kristiani yang lambat-laun makin dewasa, harus ada
kebutuhan yang terasa mendalam akan pertobatan, baik dalam aspek
sakramentalnya[177], maupun mengenai pertobatan sebagai keutamaan Aspek kedua itu diuraikan oleh Paus Paulus VI dalam Konstitusi Apostolik ”Paenitemini”[178]. Salah satu tugas Gereja ialah melaksanakan ajaran yang tercantum dalam ”Paenitemini”.
Pokok itu harus kita selidiki secaralebih mendalam melalui refleksi
bersama, dan lebih banyak lagi keputusan yang perlu diambil tentang itu
dalam semangat kolegialitas pastoral, dengan menghormati berbagai
tradisi mengenainya dan berbagai situasi serta kondisi hidup masyarakat
zaman sekarang. Akan tetapi sudah pastilah Gereja masa Adven yang baru,
yakni yang tiada hentinya bersiap-siap menyongsong kedatangan Tuhan yang
baru, harus menjadi Gereja Ekaristi dan Pertobatan. Hanya bila
dipandang dari sudut rohani kehidupan serta kegiatannya itulah Gereja
tampil sebagai Gereja yang diutus oleh Allah, Gereja ”in statu missionis” ( dalam keadaan diutus), seperti ditunjukkan oleh Konsili Vatikan II.
21. PANGGILAN KRITIANI UNTUK MENGABDI DAN MERAJAI.
Dengan
menyusun citra Gereja sebagai Umat Allah bertumpu pada dasar-dasarnya
sendiri-dengan memperlihatkan misi Kristus sendiri dalam ketiga aspeknya
(karena berpartisipasi dalam perutusan itu kita menjadi Umat Allah yang
sejati)-Konsili Vatikan II menggarisbawahi di antara ciri-ciri lain
panggilan Kristiani sifat yang dapat dilukiskan sebagai sifat ”rajawi”.
Untuk menyajikan segala kekayaan ajaran Konsili kami di sini sebenarnya
harus mengacu kepada sekian banyak bab dan alinea Konstitusi ”Lumen Gentium”
serta banyak dokumen lain yang diterbitkan oleh Konsili. Akan tetapi
agaknya satu unsur cukup menonjol di antara semua kekayaan itu, yakni:
partisipasi dlaam perutusan rajawi Kristus, maksudnya: menemukan kembali
dalam dirinya maupun dalam diri sesama martabat khusus panggilan kita
yang dapat dilukiskan sebagai martabat ”rajawi”. Martabat itu diungkapkan dalamkesediaan melayani, seturut teladan Kristus, yang ”datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani”[179].
Kalau dalam terang sikap Kristus itu ”menjadi raja” sesungguhnya hanya
mungkin dengan ”menjadi hamba”, ”menjadi hamba” itu pun meminta
kematangan rohani yang sungguh harus dilukiskan sebagai ”menjadi raja”.
Supaya mampu mengabdi sesama secara pantas dan tepat-guna, kita harus
mampu menguasai diri, dan memiliki keutamaan-keutamaan yang memungkinkan
penguasaan diir itu. Partisipasi kita dalam perutusan rajawi
Kristus-”fungsi rajawi”-Nya (”munus”)-erat bertalian dengan setiap bidang moralitas Kristiani maupun manusiawi.
Dalam
menyajikan gambaran lengkap tentang Umat Allah dan menempatkan para
imam maupun awam, para anggota hirarki maupun Tarekat-tarekat Hidup
Bakti dalam Umat itu, Konsili Vatikan II tidak bertolak dari prinsip
sosiologis melulu. Tentu saja Gereja seabgai masyarakat manusia dapat
ditelaah dan digambarkan dengankategori-kategori yang dikenakan oleh
ilmu-ilmu pada masyarakat manusia mana pun juga. Akan tetapi
kategori-kategori itu tidak mamadai. Bagi seluruh persekutuan Umat Allah
maupun anggotanya masing-masing yang menjadi soal bukan sekedar
”keanggotaan sosial” yang khas. Melainkan bagi mereka semua dari
masing-masing yang hakiki ialha ”panggilan” yang khusus. Memang Gereja
sebagai umat Allah-menurut ajaran Santo Paulus seperti telah disebutkan,
yang diingatkan kepada kita oleh Paus Pius XII dalam uraian yang
indah-sekaligus juga ”Tubuh Mistik Kristus”[180].
Sumber keanggotaan dalam Tubuh itu ilaha panggilan khusus terpadu
dengan tindakan penyelamat rahmat. Oleh karena itu, kalau kita hendak
tetap memperhatikan persekutuan Umat Allah yang begitu luas dan sangat
bermacam-macam itu, kita pertama-tama harus memandang Kristus yang
secara tertentu bersabda kepada tiap anggota jemaat: ”Ikutlah Aku”[181].
Itulah persekutuan para murid, yang masing-masing dengan caranya
sendiri-kadang-kadang secara sadar dankonsisten sekali, tetapi ada
kalanya pula tidak sesadar itu dan sangat tidak konsisten-mengikuti
Kristus. Itu sekaligus juga menunjukkan segi dan dimensi yang ”pribadi
sekali” pada masyarakat itu, yang kendati segala kekurangannya dalam
hidup menjemaat-dalam arti manusiawi kata itu-justru merupakan
persekutuan, karena semua anggotanya membentuknya bersama dengan Kristus
sendiri, setidak-tidaknya karena jiwa mereka ditandai degnan meterai
Kristiani yang tak terhapuskan.
Konsili
Vatikan II secara istimewa berusaha memperlihatkan, bagaimana kenyataan
jemaat para murid dan saksi iman itu juga dari sudut pandangan
”manusiawi” harus makin menjadi persekutuan yang menyadari hidup dan
kegiatannya sendiri. Prakarsa-prakarsa yang di bidang itu diadakan oleh
Konsili disusul dengan banyak inisiatif lanjutan yang bercorak sinodal,
apostolik dan organisasional. Akan tetapi selalu perlu diindahkan
kebenaran, bahwa setiap prakarsa menunjang pembahauan yang sesungguhnya
dalam Gereja, dan membantu membawa terang sejati yakni Kristus[182],
sejauh didasarkan pada kesadaran yang memadai akan panggilan orang
Kristiani dan akan tanggung jawab rahmat yang khas, unik dan tak
terulang, yang dikurniakan kepada setiap orang Kristiani dalam
persekutuan Umat Allah untuk ikut membangun Tubuh Kristus. Prinsip itu,
asas pokok bagi seluruh praktek hidup Kristiani-praktek kerasulan dan
pastoral, praktek hidup rohani dan sosial-harus harus diterapkan dengan
cara yang sepadan pada segenap umat manusia dan setiap orang. Paus pun
dan tiap Uskup harus mengenakan asas itu pada dirinya. Para imam dan
religius harus setiap mematuhinya. Prinsip itu harus menjadi dasar untuk
membangun hidup bagi pasangan suami-isteri, bagi orangtua, bagi pria
maupun wanita dalam pelbagai keadaan dan profesi, dari mereka yang
memangku jabatan tertinggi dalam masyarakat hingga mereka yang
menjalankan tugas-tugas paling sederhana. Justru itulah prinsip
”pelayanan rajawi”, yang menaruh pada kita masing-masing, mengikuti
teladan Kristus, kewajiban memohon dari pada-Nya apa yang menjadi tujuan
panggilan kita, kewajiban yang secara pribadi kita sanggupi berkat
rahmat Allah, untuk menanggapi panggilan kita. Kesetiaan kepada
panggilan yang diterima dari Allah melalui Kristus itu mencakup tanggung
jawab bersama atas Gereja, dan untuk itulah Konsili Vatikan II hendak
membina semua orang Kristiani. Memanglah, dalam Gereja sebagai
persekutuan Umat Allah dalam bimbingan karya Roh Kudus, masing-masing
anggota menerima ”anugerahnya sendiri yang khas”, seperti diajarkan oleh
Santo Paulus[183]. Meskipun ”kurnia” itu panggilan pribadi, dan suatu bentuk peranserta dalam karya penyelamatan Gereja, kurnia itu sekaligus melayani sesama, membangun Gereja dan rukun-rukun persaudaraan di pelbagai bidang hidup manusia di dunia.
Kesetiaan
terhadap panggilan, yakni kesediaan terus menerus untuk ”pelayanan
rajawi”, mempunyai makna yang khas bagi sekianbanyak cara membangun,
khususnya berkenaan dengan tugas-tugas yang menuntut lebih banyak, yang
lebih besar dampak-pengaruhnya atas perihidup sesama dan seluruh
masyarakat. Pasangan suami-isteri harus nampak jelas kesetiaannya
terhadap panggilan mereka, seperti dibutuhkan oleh sifat tak terceraikan
lembaga sakramental pernikahan. Para imam harus tampil jelas juga
kesetiaannya terhadap panggilan mereka, mengingat meterai tak
terhapuskan yang berdasarkan sakramen Tahbisan menandai jiwa mereka.
Dalam menerima sakramen itu kami dalam Gereja Latin dengan sadar dan
bebas menyanggupi hidup dalam selibat. Oleh karena itu masing-masing
harus berusaha sedapat mungkin, berkat rahmat Allah, bersyukur atas
kurnia itu dan setia terhadap ikatan yang diterima untuk selamanya. Ia
harus setia seperti juga suami-isteri wajib setia; sebab sekuat tenaga
mereka harus berusaha bertabah dalam persekutuan pernikahan mereka,
sambil membangun rukun hidup berkeluarga melalui kesaksian cintakasih,
dan sambil mendidik angkatan-angkatan baru pria maupun wanita, yang
kemudian mampu membaktikan seluruh hidup kepada panggilan mereka, dengan
kata lain: kepada ”pengabdian rajawi”, yang teladannya dan polanya yang
terindah oleh Yesus Kristus. Gereja-Nya, yang anggotanya kita semua,
diperuntukkan ”bagi orang-orang”, dalam arti, bahwa-dengan bertumpu pada
teladan Kristus[184]
dan menanggapi rahmat yang diperoleh-Nya bagi kita-kita mampu meraih
cita-cita ”rajawi”, yakni mampu membuahkan kemanusiaan yang matang dalam
diri kita masing-masing. Kemanusiaan yang dewasa berarti penggunaan
sepenuhnya anugerah kebebasan kurnia Sang Pencipta, ketika Ia
menciptakan manusia ”menurut citra-keserupaan-Nya”. Kurnia itu mencapai
realisasinya paripurna bila pribadi tanpa syarat menyerahkan diri
seutuhnya, dalam semangat cintakasih mempelai, kepada Kristus, dan
bersama Kristus kepada siapa saja, kepadanya Ia mengutus pria maupun
wanita yang seutuhnya dikuduskan kepada-Nya menurut nasehat-nasehat
Injili. Itulah cita-cita hidup religius, yang diperjuangkan oleh
Ordo-Ordo maupun Kongregasi-Kongregasi yang kuno maupun yang baru, dan
oleh Institut-Institut Sekular.
Sekarang
ini kadang ada anggapan salah, seolah-olah kebebasan merupakan tujuan
tersendiri, seakan-akan tiap manusia itu bebas, bila memakai
kebebasannyaseperti diinginkannya sendiri, dan seolah-olah itulah yang
harus menjadi sasaran dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat.
Menurut kenyataan, kebebasan hanyalah kurnia agung, bila orang tahu
bagaimana menggunakannya atas tuntunan suarahati bagi apa pun yang
sungguh baik bagi kita. Kristus mengajarkan kepada kita , bahwa
penggunaan kebebasan yang terbaik ialah cintakasih, yang diwujudkan
secara konkret dalam penyerahan diri dan pengabdian. Untuk ”kebebasan”
itulah ”Kritus telah membebaskan kita”[185]
dan tetap membebaskan kita. Dari sumber itu Gereja tiada hentinya
menimba inspirasi, panggilan dan dorongan bagi perutusan dan
pengabdiannya di tengah segenap bangsa manusia. Kebenaran sepenuhnya
mengenai kebebasan manusiawi tak terhapuskan tertera pada misteri
Penebusan. Gereja sungguh mengabdi umat manusia, bila menjaga kebenaran
itu dengan perhatian yang tiada jemunya, dengan cintakasih yang bernyala
dan dengan kesanggupan yang matang, dan bila dalam suluruh
persekutuannya sendiri Gereja menyalurkan kebenaran itu dan memberinya
bentuk konkret dalam hidup manusiawi melalui kesetiaan orang Kristiani
kepada panggilannya. Itu meneguhkan apa yang telah kami uraikan, yakni
bahwa manusia itu ”jalan” dan selalu menjadi ”jalan” bagi hidup
sehari-hari Gereja.
22. BUNDA TUMPUAN KEPERCAYAAN KITA.
Oleh
karena itu bila pada awal masa kepausan baru kami mengarahkan renungan
dan hati kami kepada Penebus umat manusia, kami hendak memasuki dan
menyelami irama terdalam kehidupanGereja. Bila Gereja memang menghayati
hidupnya, itu karena menerima kehidupan itu dari Kristus. Dan Kristus
senantiasa hanya menghendaki satu hal, yakni agar kita mempunyai hidup
dan memilikinya secara melimpah[186].
Kepenuhan hidup dalam Kristus itu sekaligus diperuntukkan bagi manusia.
Karena itulah Gereja, dengan menyatukan diri dengan segala kekayaan
misteri Penebusan, menjadi Gereja umat yang hidup; hidup karena menerima
kehidupan dari dalam berkat karya ”Roh kebenaran”[187] dan dikunjungi oleh cintakasih, yang dicurahkan oleh Roh Kudus ke dalam hati kita[188].
Tujuan setiap pelayanan dalam Gereja, entah itu pelayanan kerasulan
atau pastoral, pelayanan imam atau Uskup, ilaha memelihara ikatan
dinamis antara misteri Penebusan dan setiap orang.
Kalau tugas itu kita sadari, agaknya kita akan memahami lebih baik apa artinya: bahwa Gereja itu Ibu[189],
begitu pula: bahwa Gereja selalu, dan khususnya pada zaman sekarang
ini, membutuhkan Ibu. Kita berhutang budi terima kasih yang istimewa
kepada para Bapa Konsili Vatikan II, yang mencetuskan kebenaran itu
dalam Konstitusi ”Lumen Gentium” dengan ajaran begitu kaya tentang Bunda Maria yang tercantum dalamnya[190]. Karena Paus Paulus VI, diilhami oleh ajaran itu, memaklumkan Bunda Kristus sebagai ”Bunda Gereja”[191],
dan gelar itu telah terajar kemana-mana, perkenankanlah Pengganti
beliau yang tidak layak ini menghadap Maria sebagai Bunda Gereja
menjelang akhir renungan-renungan ini, yang memang seyogyanya disajikan
pada awal pengadiannya sebagai Paus. Maria ialah Bunda Gereja, sebab
atas pilihan mengagumkan Bapa yang Kekal[192] dan berkat karya istimewa Roh Cintakasih[193], ia memberi hidup manusiawi kepada Putera Allah; ”untuk Dia dan karena Dialah segala-sesuatu ada”[194],
dan dari pada-Nya segenap Umat Allah menerima rahmat dan martabat
pemilihan. Putera Maria secara tegas-tandas memperluas keibuan Bunda-Nya
dengan cara yang mudah dimengerti oleh tiap jiwa dan tiap hati manusia,
ketika Ia ditinggikan di Salib, dan menyebut murid-Nya terkasih sebagai
puteranya[195].
Roh Kudus mendorong Maria untuk tetap singgah di Ruang Atas sesudah
Kenaikan Tuhan kita, dalam keheningan doa dan penantian, bersama dengan
para Rasul, sampai pada hari Pentekosta, ketika Gereja dilahirkan secara
kelihatan, muncul dari kegelapan[196].
Kemudian, semua angkatan para murid, yakni mereka yang mengimani dan
mencintai Kristus, seperti Rasul Yohanes, secara rohani menyambut Bunda
itu ke dalam rumah mereka sendiri[197].
Begitulah Maria tercakup dalam sejarah keselamtan dan dalam misi Gereja
sejak awalmula, yakni sejak saat Maria menerima Kabar Gembira. Oleh
karena itu, kita semua, angkatan para murid Kristus zaman sekarang,
ingin secara khusus menggabungkan diri dengan dia. Itu kita jalankan
dengan segala kesetiaan kita kepada tradisi kita yang kuno, begitu pula
dengan sikap hormat dan cintakasih sepenuhnya terhadap para anggota
semua Jemaat Kristiani.
Semua
itu kita lakukan karena terdesak oleh kebutuhan yang mendalam akan
iman, harapan dan cintakasih. Sebab kalau kita-pada tahap yang sulit dan
penuh tanggung jawab dalam sejarah Gereja dan umat manusia ini-secara
khusus merasa perlu menghadap Kristus, Tuhan Gereja dan Tuhan sejarah
manusia berdasarkan misteri Penebusan, menurut pandangan kami tidak ada
orang lain yang seperti Maria dapat mengantar kita memasuki dimensi
ilahi dan insani misteri itu. Tidak seorang pun pernah dimasukkan oleh
Allah ke dalamnya seperti Maria. Di situlah letak sifat luar biasa
rahmat Keibuan ilahi. Bukan saja martabat Keibuan itu tanpa padanan dan
tak terulang dalam sejarah bangsa manusia, melainkan berkat Keibuan itu
partisipasi Maria dalam rencana Allah demi keselamatan umat manusia
melalui misteri Penebusan unik juga dalam kedalamannya dan jangkauan
karyanya.
Dapat
dikatakan, bahwa misteri Penebusan mendapat bentuknya di bawah hati
Sang Perawan dari Nazaret, ketika ia mengucapkan ”fiat”-nya. Sejak saat
itu, berkat pengaruh istimewa Roh Kudus, hati itu, hati Sang Perawan
maupun Ibu, selalu menyimak karya Puteranya, dan tertujukan kepada
mereka semua yang telah dan tetap dirangkul oleh Kristus dengan
cintaksih yagn tiada taranya. Oleh karena itulah hati Maria tiada
habisnya mengasihi bagaikan seorang ibu. Ciri khas cintakasih keibuan,
yang oleh Bunda Allah diresapkan ke dalam misteri Penebusan dan
kehidupan Gereja diungkapkan dalam kedekatannya yang istimewa dengan
manusia dan apa pun yang terjadi padanya. Di situlah letak misteri
Bunda. Gereja, yang memandangnya dengan cintakasih dan harapan yang
sangat istimewa, bermaksud meresapkan misteri itu secara kian mendalam
dalam kehidupannya. Sebab di situlah Gereja juga mengenali jalan bagi
hidupnya sehari-hari, yakni setiap pribadi manusia.
Cintakasih
kekal Bapa, yang telah diwahyukan dalam sejarah umat manusia melalui
Putera yang dianugerahkan oleh Bapa, ”supaya barang siapa percaya akan
Dia, jangan binasa melainkan mempunyai hidup kekal”[198],
menjadi dekat dengan kita masing-masing melalui Bunda itu dan dengan
demikian mengenakan perlambangan, yang lebih mudah dimengerti dan
didekati oleh setiap orang. Oleh karena itu Maria harus hadir di semua
jalan yang ditempuh oleh Gereja dalam hidupnya sehari-hari. Melalui
kehadiran keibuannya Gereja beroleh kepastian, bahwa ia sungguh
menghayati kehidupan Guru dan Tuhannya, serta menghayati misteri
Penebusan dengna seglaa kedalaman dan kepenuhannya yang menghidupkan.
Begitu pula Gereja, yang telah berakar di sekian banyak ladang kehidupan
yang beraneka di tengah seluruh umat manusia zaman sekarang, memperoleh
kepastian dan dapat dikatakan pengalaman berdekatan dengan manusia,
dengan tiap orang, menjadi Gereja setiap orang, Gereja Umat Allah.
Menghadapi
tugas-tugas, yang nampak di sepanjang jalan bagi Gereja itu,
jalan-jalan yang oleh Paus Paulus VI digariskan dengan jelas dalam
Ensiklik pertama masa kepausan beliau, pun menyadari mutlak perlunya
semua jalan itu, lagi pula menyadari kesulitan-kesulitan yang
memenuhinya, kita makinterasa membutuhkanikatan yang mendalam dengan
Kristus. Kita dengar dalam batin, bagaikan pantulan gema, kata-kata yang
diucapkan-Nya: ”Tanpa Aku kamu tidak mampu berbuat apa-apa”[199].
Bukan saja kita rasakan kebutuhan, melainkan bahkan keharusan yang
mutlak bagi seluruh Gereja, untuk berdoa banyak, lebih intensif dan
lebih mantap. Hanya doalah yang dapat mencegah, supaya segala urusan
yang mutlak bagi seluruh Gereja, untuk berdoa banyak, lebih intensif dan
lebih lmantap. Hanya doalah yang dapat mencetgah, supaya segala tugas
yang berat dan kesukaran-kesukaran yang besar itu jangan menjadi sumber
krisis, melainkan supaya justru menjadikannya peluang, dan seolah-olah
dasar bagi buah-hasil yang makin matang sepanjang perjalanan Umat Allah
menuju Tanah yang Dijanjikan, pada tahap sejarah ini menjelang akhir
millennium kedua. Oleh karena itu, sementara mengakhiri renungan ini
dengan seruan yang hangat dan rendah hati untuk berdoa, kami
menginginkan agar Gereja sepenuh hati memanjatkan doa itu, bersama Maria
Bunda Yesus[200], seperti dijalankan oleh para Rasul dan murid-murid Tuhan di Ruang Atas di Yerusalem sesudah Kenaikan-Nya[201].
Terutama dengan sangat kami memohon Maria, Bunda surgawi Gereja,
sudilah kiranya memanjatkan doa Adven Baru umat manusia itu, bersama
dengan kita para anggota Gereja, yakni Tubuh Mistik Puteranya yang
Tunggal. Harapan kami: supaya melalui doa itu kita dapat menerima Roh
Kudus yang turun atas diri kita[202], sehingga mampu menjadi saksi-saksi Kristus ”hingga diujung bumi”[203], seperti mereka yang bertolak dari Ruang Atas di Yerusalem pada hari Pentekosta.
Disertai Berkat Apostolik.
Dikeluarkan
di Roma, di Basilika St. Petrus, pada tanggal empat Maret, Hari Minggu
Pertama masa Prapaska, pada tahun 1979, tahun pertama masa Kepausan
kami.
PAUS YOHANES PAULUS II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar