Mengenang Sri Paus Yohanes Paulus II

Beliau telah memberikan teladan yang sangat besar bagi umat katolik di seluruh dunia, beliau telah menunjukkan apa arti kasih, dimana sejak kecil hingga beliau meninggal....
Sejak masih kanak-kanak, Sri Paus kita sudah menunjukkan karakter yang luar biasa.
Sebelum menjadi Uskup Roma, Vikaris (Wakil) Kristus, Penerus Santo Petrus, Uskup Agung Gereja Katolik Sedunia, Pimpinan Negara Vatikan, dan satu-satunya paus yang pernah masuk komik - karya Marvel tahun 1983 - Paus Yohanes Paulus II adalah seorang anak Polandia bernama Karol Jozef Wojtyla.
Teman-teman masa kecilnya di Wadowice, kota dengan 8.000 umat Katolik dan 2.000 orang Yahudi, 56 kilometer di barat daya Krakow, memanggil Wojtyla dengan nama "Lolek". Lolek lahir 18 Mei 1920 sebagai anak kedua Karol Wojtyla, seorang pensiunan tentara sekaligus penjahit, dengan Emilia Kaczorowska Wojtyla, seorang guru sekolah.
Pada masa muda, ia dikenal sebagai penjaga gawang tim sepakbola, sekaligus orang yang gemar berenang di Sungai Skawa, bermain ski, mendaki gunung dan naik kayak.
Namun kematian saudara-saudaranya, membuat kehidupan Lolek tidak sebahagia anak-anak lain. Sebelum ia lahir, kakak perempuannya yang masih kecil telah meninggal. Lalu pada tahun 1929, sebulan sebelum hari ulang tahun Lolek yang ke-9, ibu yang dicintainya wafat karena sakit jantung. Dilanjutkan dengan kematian kakak laki-lakinya saat ia berumur 12 tahun.
Lolek sendiri nyaris tewas dua kali. Sekali karena tertabrak mobil dan kedua tertabrak truk tahun 1944. Luka-luka akibat kecelakaan itu tidak membuatnya cacat, tapi melahirkan seorang Paus dengan tinggi 178 cm dengan bahu kokoh yang masih terlihat di hari tuanya.
"Masa muda Paus bukan masa yang menyenangkan," kata Pastur Joseph Vandrisse, seorang pastor Prancis yang juga menjadi wartawan. "Ia banyak merenungkan arti penderitaan..."
Sepeninggalan anggota keluarga yang lain, Lolek dan ayahnya hidup di sebuah Spartan, apartemen satu kamar di belakang gereja. Wojtyla senior mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Lolek, dan mendidiknya dengan disiplin seperti tentara, meski tidak lupa bermain dengan anaknya.
Kegemaran Lolek masa muda adalah puisi, teater, dan agama. Setelah lulus dari sekolah menengah tahun 1938, Lolek dan ayahnya pindah ke Krakow tempat ia belajar sastra dan filsafat di Universitas Jagiellonian. Di sana ia bergabung dengan kelompok pembaca puisi dan kelompok diskusi sastra. "Ia seorang aktor hebat dan penyanyi berbakat," kata beberapa temannya.
Ketika Jerman menyerbu Polandia tahun 1940, Lolek menghindari penjara dengan bekerja sebagai seorang pemotong batu. Beberapa bulan kemudian, Februari 1941, ayahnya yang berusia 61 tahun meninggal dunia tanpa sempat melihat anaknya menjadi pastor. Ayah ini padahal sangat berharap bisa melihat anaknya hidup untuk melayani Tuhan.
Sekitar 18 bulan berlalu, Wojtyla muda mulai memenuhi harapan ayahnya dengan belajar di sebuah seminari bawah tanah di Krakow, sekaligus belajar teologi di universitas. Ia harus belajar sembunyi-sembunyi karena adanya larangan dari penguasa Jerman.
Ia meneruskan belajar sembari bekerja di sebuah pabrik hingga Agustus 1944. Namun ketika tentara Jerman mulai menangkapi pemuda-pemuda Polandia, Wojtyla bersembunyi di rumah uskup Krakow hingga perang berakhir.
Ia ditahbiskan sebagai pastor di Krakow tahun 1946, dan menghabiskan tahun-tahun sesudahnya dengan belajar - Wojtyla mendapatkan dua gelar sarjana dan sebuah gelar doktor - sebelum akhirnya bertugas sebagai asisten pastor Krakow tahun 1949.
Dari pastor menjadi Paus
Karol Wojtyla sebagai pastor di Krakow
Di tahun-tahun pertama menjadi pastor, Wojtyla ditunjuk sebagai pastor pembimbing mahasiswa di Gereja St. Florian, Krakow. Gereja itu kebetulan berdekatan dengan Universitas Jagiellonian, tempat ia mengerjakan doktoral keduanya dalam bidang filsafat.
Ketika departemen theologi dihapuskan dari universitas tahun 1954 karena tekanan pemerintah komunis Polandia, seluruh fakultas digabungkan ke Seminari Krakow, dan Wojtyla melanjutkan belajar di sini.
Pada tahun yang sama ia juga diminta mengajar di Universitas Katolik Lublin - satu-satunya universitas Katolik di negara komunis. Hal itu membuat Wojtyla harus bolak-balik Lublin-Krakow untuk mengajar dan untuk belajar.
Tahun 1956, Wojtyla ditunjuk sebagai Pimpinan Studi Etika di Universitas, dan "karirnya" di hirarki gereja naik pesat setelah ia dinobatkan sebagai pembantu uskup Krakow. Ketika Konsili Vatikan II dimulai tahun 1962, Wojtyla menjadi salah satu penyumbang gagasan terutama dalam hal kebebasan beragama. Pada tahun itu pula ia ditunjuk menjadi pejabat uskup Krakow ketika pendahulunya wafat.
Banyak komentar mengenai uskup Wojtyla diungkapkan orang. Menurut Margaret Steinfels, editor majalah Commonweal, Wojtyla adalah orang yang cerdas, cemerlang, sekaligus sangat suci. Sedangkan orang lain menyebutnya sangat bersahabat, pendengar yang baik, dan memiliki selera humor yang segar.
Wojtyla dikenal juga sebagai orang yang tegas namun luwes. Ketika ditunjuk sebagai kardinal oleh Paus Paulus VI tahun 1967, pemerintah komunis Polandia tidak keberatan karena sifatnya tersebut. Pada saat itu, di bawah tekanan pemerintah komunis, Gereja Katolik Polandia menjadi salah satu pintu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan nasionalisme warganya.
Dalam hal ini, Wojtyla selalu mengarahkan ekspresi-ekspresi itu dalam bentuk yang tidak memprovokasi reaksi brutal pemerintah komunis, walau ia seringkali memposisikan diri sebagai penentang komunisme. Pada masa-masa itu pula Wojtyla banyak menghasilkan tulisan mengenai etika dan filsafat.
Ketika Paus Yohanes Paulus I wafat September 1978 para kardinal di seluruh dunia berkumpul untuk memilih penggantinya. Tidak seorangpun menyangka pada saat itu bahwa Wojtyla bakal dipilih sebagai Paus selanjutnya. Ia bahkan sudah memiliki tiket pulang ke Polandia, yang akhirnya tidak pernah digunakan.
Peristiwa itu terjadi petang hari tanggal 16 Oktober 1978. Ketika para kardinal tidak bisa menemukan kata sepakat setelah tujuh kali pemungutan suara, pada putaran ke delapan muncul nama Wojtyla. Ia menerima hasil pemilihan itu dengan mata berkaca-kaca. Banyak orang memang menyebutkan Paus ini adalah seorang yang perasa, ia sering meneteskan air mata di hadapan anak-anak kecil.
Wojtyla kemudian memilih nama sama seperti pendahulunya - yang menjadi Paus hanya selama 34 hari sebelum wafat akibat serangan jantung. Ia menambahkan angka Romawi dan menjadi Paus Slav yang pertama. Ia juga Paus non-Italia pertama sejak 455 tahun (yang terakhir adalah Paus Adrian VI tahun 1523), dan pada usia 58, ia menjadi Paus termuda setelah 132 tahun.
"Saya gentar menerima tugas ini," katanya ketika itu kepada umat yang menunggu di Lapangan Santo Petrus.
"Tetapi saya menerimanya dengan semangat kepasrahan pada Tuhan dan kepercayaan sepenuhnya terhadap Bunda Maria yang suci," lanjutnya.
Menurut George Weigel, seorang penulis kepausan, ketika pemilihan Wojtyla diumumkan, Yuri Andropov, pimpinan badan intelejen Uni Soviet KGB, memperingatkan Politburo bahwa kemungkinan mereka akan mendapat masalah dengannya di kemudian hari. Dan dugaan itu ternyata terbukti.
Pembaharuan gereja dan dunia
Mengunjungi Polandia setelah menjadi Paus
Kurang dari delapan bulan setelah pentahbisannya sebagai Paus tahun 1978, Karol Wojtyla berkunjung ke Polandia sebagai Paus Yohanes Paulus II selama sembilan hari.
Massa mengelu-elukannya kemanapun Paus pergi dan ini merupakan pukulan bagi pemerintah komunis. Negara yang secara resmi atheis ini kebetulan sedang dilanda kekurangan bahan makanan. Kerisauan pemerintah masih ditambah dengan kotbah-kotbah Paus yang mengingatkan warga Polandia mengenai hak asasi manusia.
"Itu adalah saat yang amat luar biasa," kata Robert Moynihan, editor majalah Inside the Vatican. "Ada kerumunan sejuta orang yang mendengarkan dia, yang diingatkan mengenai hak asasi mereka. Itulah awal kehancuran Uni Soviet."
Pada musim dingin tahun 1999, Paus mengunjungi Meksiko dan AS untuk menyelenggarakan misa bagi jutaan orang. Ia pergi ke Boston, New York, Philadelphia, Des Moines, Chicago serta Washington, dan penduduk menyambutnya dengan tangan terbuka.
Meskipun selalu menarik jutaan orang dalam tiap kunjungannya, kesehatan Paus makin lama makin turun. Pada bulan Januari 2001, salah seorang dokternya mengumumkan bahwa Paus menderita Parkinson. Penyakit yang sudah dideritanya sejak 1986 itu membuat tangannya tampak gemetar dan langkahnya menjadi lamban.
Namun kharisma yang dipancarkan dalam lebih dari 170 kunjungan di lebih dari 115 negara tidak padam. Pada tahun 1994, majalah Time bahkan memilihnya sebagai Man of the Year karena ia dianggap menggetarkan hati banyak orang.
Dalam bukunya "The Making of Popes 1978", Andrew M. Greeley menuliskan, "Gerakannya, kehadirannya, senyumnya, gerakan tubuhnya, rasa bersahabat di matanya, telah membuat senang setiap orang. Ia selalu menjabat tangan, tersenyum, berbicara dan memberkati anak-anak."
Los Angeles Times melaporkan bahwa orang-orang Polandia menunggu berjam-jam untuk melihat Paus ketika ia berkunjung kembali tahun 1997. "Saat Paus muncul, kerumunan orang menjadi senyap, beberapa langsung berlutut, yang lainnya meneteskan air mata ketika Paus Yohanes Paulus berjalan menuju altar."
Bukan hanya tercatat sebagai Paus paling banyak melakukan perjalanan ke luar negeri - termasuk Indonesia tahun 1989, ia juga berbicara dalam delapan bahasa. Berbeda dengan paus-paus lain yang lebih banyak berdiam di Roma, Paus Yohanes Paulus II muncul di mana-mana dan menjadi pemberitaan di seluruh dunia.
Paus Yohanes Paulus II dalam Misa Paskah sedang menyampaikan berkat "urbi et orbi"
Bagi Paus, semua agama mewartakan kebenaran. Ia berhubungan baik dengan berbagai kalangan agama dan selalu menyerukan perdamaian di kalangan umat beragama.
Selain itu, hal yang terutama diperjuangkannya adalah masalah martabat dan hak asasi manusia. Kritiknya terhadap diktator-diktator seperti Alfred Stroessner di Paraguay, Augusto Pinochet di Chile, dan Ferdinand Marcos di Filipina telah mendorong pergerakan yang akhirnya menurunkan diktator-diktator tersebut. Dukungannya terhadap gerakan solidaritas Polandia menjadi salah satu kunci jatuhnya komunisme di negara itu.
Ketika seorang warga Turki bernama Mehmet Ali Agca menembaknya dua kali dalam suatu percobaan pembunuhan tahun 1981 di Lapangan Santo Petrus, Agca sempat mengatakan bahwa dirinya diperintahkan oleh intelejen Bulgaria. Sedangkan intelejen Bulgaria itu diketahui sering menjalankan permintaan KGB. Namun Agca kemudian mencabut pernyataan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Yang dikenang dalam peristiwa ini adalah Paus kemudian mengunjungi Agca di penjara dan memaafkan dia. Agca pun sempat berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak bisa membunuh Anda?"
Meski begitu, Paus tidak selalu dielukan. Sering juga ia dimusuhi. Pada kunjungannya ke AS, ia memperingatkan bahayanya materialisme, egoisme, dan sekularisme. Ia juga menyarankan penurunan standar hidup agar masyarakat AS bisa berbagi dengan negara dunia ketiga. Pesan ini ditolak, tetapi tidak menghentikan Paus untuk menegaskan bahwa materialisme bukanlah jawaban bagi dunia.
Penolakannya terhadap aborsi, kontrasepsi, dan euthanasia juga mendapat tentangan banyak pihak. Ini adalah cerminan pandangannya k membela kehidupan yang merupakan hak asasi manusia. Baginya bayi di dalam kandungan adalah kehidupan yang harus dibela.
"Negara yang membunuh anak-anaknya sendiri tidak akan punya masa depan," demikian reaksinya terhadap pengesahan undang-undang aborsi di Polandia tahun 1996.
Dalam usianya yang makin senja, Paus masih sempat melakukan beberapa lawatan ke luar negeri. Tapi jalannya tidak seperti dulu. Sebuah tongkat, lalu kursi roda, selalu menemaninya.
Ia tidak mampu lagi mengecup Bumi setiap kali turun dari pesawat dan tiba di suatu negara. Kata-kata yang diucapkannya pun semakin tidak jelas, kadang tercekat. Sementara, raut mukanya seperti rupa seseorang yang menahan sakit.
Kini Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II telah dipanggil Tuhan. Ia telah dibebaskan dari derita penyakitnya. Banyak orang akan mengingatnya sebagai tokoh perdamaian, orang yang gigih menentang penindasan atas kehidupan. Mereka akan teringat lambaiannya, gerakan tangannya membentuk tanda salib saat memberi berkat, dan pembelaannya terhadap kaum lemah. Ingatan itu akan tinggal sebagai kenangan yang menguatkan hati banyak orang. Selamat jalan Bapa Suci...
Sumber: Kompas - http://www.kompas.com/utama/news/0504/03/034303.htm
Sebelum menjadi Uskup Roma, Vikaris (Wakil) Kristus, Penerus Santo Petrus, Uskup Agung Gereja Katolik Sedunia, Pimpinan Negara Vatikan, dan satu-satunya paus yang pernah masuk komik - karya Marvel tahun 1983 - Paus Yohanes Paulus II adalah seorang anak Polandia bernama Karol Jozef Wojtyla.
Teman-teman masa kecilnya di Wadowice, kota dengan 8.000 umat Katolik dan 2.000 orang Yahudi, 56 kilometer di barat daya Krakow, memanggil Wojtyla dengan nama "Lolek". Lolek lahir 18 Mei 1920 sebagai anak kedua Karol Wojtyla, seorang pensiunan tentara sekaligus penjahit, dengan Emilia Kaczorowska Wojtyla, seorang guru sekolah.
Pada masa muda, ia dikenal sebagai penjaga gawang tim sepakbola, sekaligus orang yang gemar berenang di Sungai Skawa, bermain ski, mendaki gunung dan naik kayak.
Namun kematian saudara-saudaranya, membuat kehidupan Lolek tidak sebahagia anak-anak lain. Sebelum ia lahir, kakak perempuannya yang masih kecil telah meninggal. Lalu pada tahun 1929, sebulan sebelum hari ulang tahun Lolek yang ke-9, ibu yang dicintainya wafat karena sakit jantung. Dilanjutkan dengan kematian kakak laki-lakinya saat ia berumur 12 tahun.
Lolek sendiri nyaris tewas dua kali. Sekali karena tertabrak mobil dan kedua tertabrak truk tahun 1944. Luka-luka akibat kecelakaan itu tidak membuatnya cacat, tapi melahirkan seorang Paus dengan tinggi 178 cm dengan bahu kokoh yang masih terlihat di hari tuanya.
"Masa muda Paus bukan masa yang menyenangkan," kata Pastur Joseph Vandrisse, seorang pastor Prancis yang juga menjadi wartawan. "Ia banyak merenungkan arti penderitaan..."
Sepeninggalan anggota keluarga yang lain, Lolek dan ayahnya hidup di sebuah Spartan, apartemen satu kamar di belakang gereja. Wojtyla senior mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Lolek, dan mendidiknya dengan disiplin seperti tentara, meski tidak lupa bermain dengan anaknya.
Kegemaran Lolek masa muda adalah puisi, teater, dan agama. Setelah lulus dari sekolah menengah tahun 1938, Lolek dan ayahnya pindah ke Krakow tempat ia belajar sastra dan filsafat di Universitas Jagiellonian. Di sana ia bergabung dengan kelompok pembaca puisi dan kelompok diskusi sastra. "Ia seorang aktor hebat dan penyanyi berbakat," kata beberapa temannya.
Ketika Jerman menyerbu Polandia tahun 1940, Lolek menghindari penjara dengan bekerja sebagai seorang pemotong batu. Beberapa bulan kemudian, Februari 1941, ayahnya yang berusia 61 tahun meninggal dunia tanpa sempat melihat anaknya menjadi pastor. Ayah ini padahal sangat berharap bisa melihat anaknya hidup untuk melayani Tuhan.
Sekitar 18 bulan berlalu, Wojtyla muda mulai memenuhi harapan ayahnya dengan belajar di sebuah seminari bawah tanah di Krakow, sekaligus belajar teologi di universitas. Ia harus belajar sembunyi-sembunyi karena adanya larangan dari penguasa Jerman.
Ia meneruskan belajar sembari bekerja di sebuah pabrik hingga Agustus 1944. Namun ketika tentara Jerman mulai menangkapi pemuda-pemuda Polandia, Wojtyla bersembunyi di rumah uskup Krakow hingga perang berakhir.
Ia ditahbiskan sebagai pastor di Krakow tahun 1946, dan menghabiskan tahun-tahun sesudahnya dengan belajar - Wojtyla mendapatkan dua gelar sarjana dan sebuah gelar doktor - sebelum akhirnya bertugas sebagai asisten pastor Krakow tahun 1949.
Dari pastor menjadi Paus
Karol Wojtyla sebagai pastor di Krakow
Di tahun-tahun pertama menjadi pastor, Wojtyla ditunjuk sebagai pastor pembimbing mahasiswa di Gereja St. Florian, Krakow. Gereja itu kebetulan berdekatan dengan Universitas Jagiellonian, tempat ia mengerjakan doktoral keduanya dalam bidang filsafat.
Ketika departemen theologi dihapuskan dari universitas tahun 1954 karena tekanan pemerintah komunis Polandia, seluruh fakultas digabungkan ke Seminari Krakow, dan Wojtyla melanjutkan belajar di sini.
Pada tahun yang sama ia juga diminta mengajar di Universitas Katolik Lublin - satu-satunya universitas Katolik di negara komunis. Hal itu membuat Wojtyla harus bolak-balik Lublin-Krakow untuk mengajar dan untuk belajar.
Tahun 1956, Wojtyla ditunjuk sebagai Pimpinan Studi Etika di Universitas, dan "karirnya" di hirarki gereja naik pesat setelah ia dinobatkan sebagai pembantu uskup Krakow. Ketika Konsili Vatikan II dimulai tahun 1962, Wojtyla menjadi salah satu penyumbang gagasan terutama dalam hal kebebasan beragama. Pada tahun itu pula ia ditunjuk menjadi pejabat uskup Krakow ketika pendahulunya wafat.
Banyak komentar mengenai uskup Wojtyla diungkapkan orang. Menurut Margaret Steinfels, editor majalah Commonweal, Wojtyla adalah orang yang cerdas, cemerlang, sekaligus sangat suci. Sedangkan orang lain menyebutnya sangat bersahabat, pendengar yang baik, dan memiliki selera humor yang segar.
Wojtyla dikenal juga sebagai orang yang tegas namun luwes. Ketika ditunjuk sebagai kardinal oleh Paus Paulus VI tahun 1967, pemerintah komunis Polandia tidak keberatan karena sifatnya tersebut. Pada saat itu, di bawah tekanan pemerintah komunis, Gereja Katolik Polandia menjadi salah satu pintu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan nasionalisme warganya.
Dalam hal ini, Wojtyla selalu mengarahkan ekspresi-ekspresi itu dalam bentuk yang tidak memprovokasi reaksi brutal pemerintah komunis, walau ia seringkali memposisikan diri sebagai penentang komunisme. Pada masa-masa itu pula Wojtyla banyak menghasilkan tulisan mengenai etika dan filsafat.
Ketika Paus Yohanes Paulus I wafat September 1978 para kardinal di seluruh dunia berkumpul untuk memilih penggantinya. Tidak seorangpun menyangka pada saat itu bahwa Wojtyla bakal dipilih sebagai Paus selanjutnya. Ia bahkan sudah memiliki tiket pulang ke Polandia, yang akhirnya tidak pernah digunakan.
Peristiwa itu terjadi petang hari tanggal 16 Oktober 1978. Ketika para kardinal tidak bisa menemukan kata sepakat setelah tujuh kali pemungutan suara, pada putaran ke delapan muncul nama Wojtyla. Ia menerima hasil pemilihan itu dengan mata berkaca-kaca. Banyak orang memang menyebutkan Paus ini adalah seorang yang perasa, ia sering meneteskan air mata di hadapan anak-anak kecil.
Wojtyla kemudian memilih nama sama seperti pendahulunya - yang menjadi Paus hanya selama 34 hari sebelum wafat akibat serangan jantung. Ia menambahkan angka Romawi dan menjadi Paus Slav yang pertama. Ia juga Paus non-Italia pertama sejak 455 tahun (yang terakhir adalah Paus Adrian VI tahun 1523), dan pada usia 58, ia menjadi Paus termuda setelah 132 tahun.
"Saya gentar menerima tugas ini," katanya ketika itu kepada umat yang menunggu di Lapangan Santo Petrus.
"Tetapi saya menerimanya dengan semangat kepasrahan pada Tuhan dan kepercayaan sepenuhnya terhadap Bunda Maria yang suci," lanjutnya.
Menurut George Weigel, seorang penulis kepausan, ketika pemilihan Wojtyla diumumkan, Yuri Andropov, pimpinan badan intelejen Uni Soviet KGB, memperingatkan Politburo bahwa kemungkinan mereka akan mendapat masalah dengannya di kemudian hari. Dan dugaan itu ternyata terbukti.
Pembaharuan gereja dan dunia
Mengunjungi Polandia setelah menjadi Paus
Kurang dari delapan bulan setelah pentahbisannya sebagai Paus tahun 1978, Karol Wojtyla berkunjung ke Polandia sebagai Paus Yohanes Paulus II selama sembilan hari.
Massa mengelu-elukannya kemanapun Paus pergi dan ini merupakan pukulan bagi pemerintah komunis. Negara yang secara resmi atheis ini kebetulan sedang dilanda kekurangan bahan makanan. Kerisauan pemerintah masih ditambah dengan kotbah-kotbah Paus yang mengingatkan warga Polandia mengenai hak asasi manusia.
"Itu adalah saat yang amat luar biasa," kata Robert Moynihan, editor majalah Inside the Vatican. "Ada kerumunan sejuta orang yang mendengarkan dia, yang diingatkan mengenai hak asasi mereka. Itulah awal kehancuran Uni Soviet."
Pada musim dingin tahun 1999, Paus mengunjungi Meksiko dan AS untuk menyelenggarakan misa bagi jutaan orang. Ia pergi ke Boston, New York, Philadelphia, Des Moines, Chicago serta Washington, dan penduduk menyambutnya dengan tangan terbuka.
Meskipun selalu menarik jutaan orang dalam tiap kunjungannya, kesehatan Paus makin lama makin turun. Pada bulan Januari 2001, salah seorang dokternya mengumumkan bahwa Paus menderita Parkinson. Penyakit yang sudah dideritanya sejak 1986 itu membuat tangannya tampak gemetar dan langkahnya menjadi lamban.
Namun kharisma yang dipancarkan dalam lebih dari 170 kunjungan di lebih dari 115 negara tidak padam. Pada tahun 1994, majalah Time bahkan memilihnya sebagai Man of the Year karena ia dianggap menggetarkan hati banyak orang.
Dalam bukunya "The Making of Popes 1978", Andrew M. Greeley menuliskan, "Gerakannya, kehadirannya, senyumnya, gerakan tubuhnya, rasa bersahabat di matanya, telah membuat senang setiap orang. Ia selalu menjabat tangan, tersenyum, berbicara dan memberkati anak-anak."
Los Angeles Times melaporkan bahwa orang-orang Polandia menunggu berjam-jam untuk melihat Paus ketika ia berkunjung kembali tahun 1997. "Saat Paus muncul, kerumunan orang menjadi senyap, beberapa langsung berlutut, yang lainnya meneteskan air mata ketika Paus Yohanes Paulus berjalan menuju altar."
Bukan hanya tercatat sebagai Paus paling banyak melakukan perjalanan ke luar negeri - termasuk Indonesia tahun 1989, ia juga berbicara dalam delapan bahasa. Berbeda dengan paus-paus lain yang lebih banyak berdiam di Roma, Paus Yohanes Paulus II muncul di mana-mana dan menjadi pemberitaan di seluruh dunia.
Paus Yohanes Paulus II dalam Misa Paskah sedang menyampaikan berkat "urbi et orbi"
Bagi Paus, semua agama mewartakan kebenaran. Ia berhubungan baik dengan berbagai kalangan agama dan selalu menyerukan perdamaian di kalangan umat beragama.
Selain itu, hal yang terutama diperjuangkannya adalah masalah martabat dan hak asasi manusia. Kritiknya terhadap diktator-diktator seperti Alfred Stroessner di Paraguay, Augusto Pinochet di Chile, dan Ferdinand Marcos di Filipina telah mendorong pergerakan yang akhirnya menurunkan diktator-diktator tersebut. Dukungannya terhadap gerakan solidaritas Polandia menjadi salah satu kunci jatuhnya komunisme di negara itu.
Ketika seorang warga Turki bernama Mehmet Ali Agca menembaknya dua kali dalam suatu percobaan pembunuhan tahun 1981 di Lapangan Santo Petrus, Agca sempat mengatakan bahwa dirinya diperintahkan oleh intelejen Bulgaria. Sedangkan intelejen Bulgaria itu diketahui sering menjalankan permintaan KGB. Namun Agca kemudian mencabut pernyataan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Yang dikenang dalam peristiwa ini adalah Paus kemudian mengunjungi Agca di penjara dan memaafkan dia. Agca pun sempat berkata, "Bagaimana mungkin aku tidak bisa membunuh Anda?"
Meski begitu, Paus tidak selalu dielukan. Sering juga ia dimusuhi. Pada kunjungannya ke AS, ia memperingatkan bahayanya materialisme, egoisme, dan sekularisme. Ia juga menyarankan penurunan standar hidup agar masyarakat AS bisa berbagi dengan negara dunia ketiga. Pesan ini ditolak, tetapi tidak menghentikan Paus untuk menegaskan bahwa materialisme bukanlah jawaban bagi dunia.
Penolakannya terhadap aborsi, kontrasepsi, dan euthanasia juga mendapat tentangan banyak pihak. Ini adalah cerminan pandangannya k membela kehidupan yang merupakan hak asasi manusia. Baginya bayi di dalam kandungan adalah kehidupan yang harus dibela.
"Negara yang membunuh anak-anaknya sendiri tidak akan punya masa depan," demikian reaksinya terhadap pengesahan undang-undang aborsi di Polandia tahun 1996.
Dalam usianya yang makin senja, Paus masih sempat melakukan beberapa lawatan ke luar negeri. Tapi jalannya tidak seperti dulu. Sebuah tongkat, lalu kursi roda, selalu menemaninya.
Ia tidak mampu lagi mengecup Bumi setiap kali turun dari pesawat dan tiba di suatu negara. Kata-kata yang diucapkannya pun semakin tidak jelas, kadang tercekat. Sementara, raut mukanya seperti rupa seseorang yang menahan sakit.
Kini Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II telah dipanggil Tuhan. Ia telah dibebaskan dari derita penyakitnya. Banyak orang akan mengingatnya sebagai tokoh perdamaian, orang yang gigih menentang penindasan atas kehidupan. Mereka akan teringat lambaiannya, gerakan tangannya membentuk tanda salib saat memberi berkat, dan pembelaannya terhadap kaum lemah. Ingatan itu akan tinggal sebagai kenangan yang menguatkan hati banyak orang. Selamat jalan Bapa Suci...
Sumber: Kompas - http://www.kompas.com/utama/news/0504/03/034303.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar